BUKANLAH suatu kebetulan bahwa Al-Qur’an menginformasikan kita di dalam surat Al-Qashash mengenai konflik antara Nabi Musa dan Firaun, lalu menjadikan wanita sebagai fokus titik tolak kebangkitan. Allah menyatakan, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (Al-Qashash 5).
Maka, proses menjadikan orang-orang tertindas itu sebagai pemimpin merupakan inisiasi kebangkitan, yang dimulai dengan seorang wanita. Allah berfirman, “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men jadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (Al-Qashash 7).
Dengan demikian, wanita menjadi titik fokus dari konflik kita dengan lawan-lawan kita. Potensi kemenangan dan kekalahan umat Islam sangat bergantung erat kepada wanita. Ini bukan kata-kata untuk ceramah ataupun puisi. Ini merupakan preposisi aksiomatik yang menjadi realita, dan harus mendapatkan perhatian lebih.
Tidak percaya? Kita bisa melihat bahwa sosok-sosok terbaik aset umat ini yang kebanyakan para laki-laki, mereka berada di penjara, diasingkan dari negeri mereka, atau berjuang habis-habisan dalam perjuangan mereka. Lantas, siapa yang akan menjaga keluarga dan merawat anak-anak, serta menunaikan sejumlah tugas domestik? Maka, tiada lain, jawabannya adalah para wanita muslim. Dan bersyukur kepada Allah, bahwa dakwah Islam sanggup untuk memenangi ‘pertempuran’.
Di saat para mujahid Islam diperangi, keberadaan mereka satu persatu dihabisi, maka dakwah juga harus dipikul para muslimah. Kendati mereka dihadapkan pada kekurangan-kekurangan mereka. Hal ini dipahami dengan baik oleh musuh-musuh Islam. Tidak puas hanya dengan memberangus sosok-sosok laki-laki terbaik umat, mereka juga berupaya melemahkan kaum wanitanya. Mereka sepertinya sadar bahwa wanita kekuatan second line umat. Sebagai istri, para muslimah menjadi batu loncatan para suami untuk bisa melompat lebih tinggi. Lalu sebagai ibu, mereka adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Sebagai anak, mereka sanggup menggembleng adik-adik mereka, dan menyemangati kakak-kakak mereka.
Belum selesai terlibat dalam konflik kebenaran vis a vis kebatilan, para muslimah sudah harus dihadapkan pada konflik lainnya. Ya, para pendengki tak ingin wanita muslim menjelma menjadi kekuatan signifikan. Sehingga mereka merasa perlu untuk menghadapkan para muslimah dengan berbagai konflik. Konflik selanjutnya terjadi ketika situasi yang dijalani para muslimah umat sangat tidak Islami, semisal –pertama— banyaknya pembatasan dan –kedua— interaksi sosial yang bertentangan dengan syariah.
Sebagai contoh, adanya pembatasan yang menghalangi para muslimah untuk mendapatkan pendidikan, hak kepemilikan harta, dan lain sebagainya. Atau merebaknya interaksi sosial bernuansa jahiliyah. Yang terakhir ini sangat berbahaya, karena memberi kesempatan kepada kaum liberal modern untuk merangkul para perempuan muslim miskin dan juga tidak berpendidikan. Para liberalis itu menginginkan agar wanita menjadi tak ubahnya sebuah produk yang dipajang dan dipamerkan.
Karena hal-hal di atas, setiap individu muslim yang terlibat dalam dakwah harus membebaskan masyarakat muslim dari dua bentuk jahiliyah tersebut. Bentuk pertama, alih-alih ingin menjaga wanita dari dampak buruk pergaulan kekinian, justru sampai mengharamkan sama sekali hak mencari ilmu, kepemilikan harta, dan lainnya. Sementara bentuk kedua terlalu bebas, sampai-sampai tidak mengindahkan syariat.
Jalan terbaik adalah jalan Islam yang hanif. Islam sangat menghormati wanita dan mengapresiasinya dengan memberi hak pendidikan, kepemilikan harta, dan waris yang selaras dengan petunjuk syariat. Di antara hal-hal yang harus diperjuangkan dalam rangka menutup jalan setan untuk menyebarkan bujuk rayunya adalah tingginya mahar (mas kawin) dalam pernikahan.
Muslimah merupakan intisari dan pokok umat. Segala sesuatu yang merefleksikan kekurangan dan kelemahan para muslimah berpotensi menciptakan kekalahan serta kemunduran. Maka kita harus menjaga setiap aspek tersebut dan memberinya perhatian yang layak. Kita mungkin sering menyaksikan para ikhwan gagal dalam perjuangan mereka. meski demikian, kita jangan sampai melihat para wanita muslim gagal dalam perjuangan mereka mendidik generasi muslim tangguh atau gagal dalam menopang perjuangan kaum laki-laki. Para laki-laki itu boleh saja terbuang dan terbunuh, tapi ‘percetakan’ kader-kader mujahid tangguh itu jangan sampai terhenti. Kita harus senantiasa melihat kesabaran, ketetapan hati, tekad kuat, keimanan, dan determinasi tinggi para muslimah.
Saudari-saudari muslimah kita di Irak, Afghanistan, Palestina, Somalia, Mindanau, Thailand Selatan, dan lainnya merupakan keajaiban-keajaiban Allah dalam hal ini. Beberapa di antara mereka bahkan melebihi ratusan mujahid dalam hal perjuangan, kesabaran, dan ketetapan hati. Pun demikian, kita bisa melihat di negara-negara Arab, betapa kesadaran religius dan eskatologis para muslimah lebih kuat daripada para laki-laki. Keikhlasan mereka untuk menopang perjuangan penegakan syariat Islam lebih tinggi dari kaum Adam.
Alhamdulillah, Rabb semesta alam, di negara-negara Barat kita menyaksikan keislaman, keimanan, dan kesadaran para istri ikhwan non-Arab yang jauh lebih dahsyat dari kalangan laki-lakinya. Dan bahkan, para istri ikhwan-ikhwan imigran Arab, mereka secara umum lebih baik dan ikhlas daripada suami mereka. Penulis pernah membaca sebuah artikel yang menceritakan keluhan-keluhan para wanita muslim mengenai kelesuan suami mereka dalam melakoni berbagai ibadah keagamaan. Jelas, keluhan-keluhan tersebut membuktikan betapa tinggi status saudari-saudari kita, dan membuktikan bahwa mereka bisa lebih baik dari para laki-laki, dengan bantuan Allah.
Tingginya perhatian setan, musuh-musuh Islam dan para pengikutnya terhadap hijab muslimah menunjukkan kepada kita pentingnya konflik ini. Oleh karena itu, tak heran jika Prancis –dengan segala permasalahannya— akan meluangkan perhatiannya untuk memerangi hijab, dan membuat undang-undang untuk mengharamkannya. Dan masih banyak lagi negara-negara Eropa yang mengikuti Prancis dengan segenap gerakan jahat mereka.
Demikian juga, tidak aneh jika kita mengikuti apa yang terjadi di banyak konferensi yang dilakukan musuh-musuh Islam, bahwa perhatian dan upaya akan dicurahkan untuk menghancurkan tatanan keluarga muslim, serta menjauhkan para muslimah dari identitas keislaman mereka.
Untuk menghancurkan Islam, mereka menghancurkan dahulu para wanita, para muslimah, para ‘tulang punggung’ umat. Maka kini terlihat kerusakan bukan saja pada kaum wanita, tetapi kerusakan moral umat pun telah terasa. Para musuh Islam membingkai usaha jahat mereka dengan kedok yang memesona dan bahasa-bahasa menyihir, semisal gerakan feminisme dan emansipasi wanita.
Para musuh Allah ini telah mengangkat isu-isu hak asasi, kebebasan, dan modernisasi untuk menghantam para muslimah. Padahal itu semua mereka lancarkan untuk kehancuran moralitas wanita secara umum dan muslimah secara khusus. Segala media dikerahkan, segala daya dicurahkan agar isu-isu ini termakan oleh para muslimah. Para muslimah dicekoki dengan ‘warna’ mereka. Para intelektual Barat dikerahkan untuk mengangkat isu-isu tersebut dengan menjelek-jelekkan dan menghujat Islam.
Para pendengki menyadari betapa muslimah merupakan salah satu benteng kuat yang signifikan dalam perjuangan Islam. Ya, mereka adalah benteng kokoh, jika dianalogikan dengan konstelasi pertempuran, sedangkan para laki-laki adalah prajurit yang secara langsung terjun di medan tempur. Jadi, peperangan ideologi ini tidak bisa diabaikan begitu saja.
Maka, setiap muslimah harus menyadari posisi mereka. ketahuilah bahwa kalian adalah intisari dan benteng umat. Para muslimah harus membekali diri dengan ilmu dan keimanan yang kokoh. Muslimah yang bodoh dan loyo adalah musuh untuk dirinya, suaminya, keluarganya, dan komunitasnya. Jangan terpedaya jebakan setan yang terejawantahkan dalam adat dan kebiasaan jahiliyah. Karena kebiasaan sosial jahiliyah yang rapuh adalah senjata para musuh Islam dan kaum liberal untuk ‘menjinakkan’ wanita muslim.
Wahai saudari-saudariku, jalanilah segenap wasilah kemenangan, dan bersabarlah. Jadilah seperti ibunda Nabi Musa dalam konteks pertikaiannya dengan Firaun. Dia harus bersusah payah dan mengorbankan putranya untuk dijatuhkan ke Sungai Nil, demi sebuah keyakinan bahwa Musa akan menjadi seorang rasul dan datang kembali memberangus kebatilan, serta mengibarkan bendera tauhid di bumi Mesir.
Perteguhlah keislaman, dan bentengilah diri dari serangan yang dilancarkan musuh Allah lewat berbagai kedok dan tipu muslihatnya. Dalam kolomnya berjudul Golongan Perempuan Penghuni Surga, Saukya Singgih menyatakan, dengan keislaman yang teguh dan ketakwaan kepada Allah dan berusaha secara sungguh-sungguh untuk mencapai profil muslimah sejati, maka akan dapat melihat jelas segala tipu daya mereka.
Sesungguhnya jalan kepada pembentukan pribadi muslimah sejati bukanlah jalan yang mulus dan indah. Tetapi jalan yang penuh pendakian dan rintangan, jalan yang penuh onak dan duri, jalan melawan arus globalisasi jahiliyah. Hendaknya kita pahami betul hal ini. Seorang muslimah yang baik adalah muslimah yang menjadikan muslimah di zaman Rasulullah SAW sebagai cermin dan teladan kita.
Yakinlah bahwa kerja keras, keimanan, dan konsistensi kalian akan dibalas keridhaan dan pahala Allah, serta mendapatkan cinta kami, para laki-laki. Kami memiliki cinta, penghormatan, dan apresiasi sepenuhnya untuk para ibu, saudari, dan putri-putri muslim. Pun demikian, untuk para istri yang penyabar, kami senantiasa menyimpan cinta, pujian, dan rasa syukur. Tanpa kehadiran dan kerja keras kalian –dengan bantuan dan izin Allah— kami bukanlah apa-apa, dan putra-putri kami mungkin takkan memiliki masa depan. [ganna pryadha/voa-islam.com]
Tidak percaya? Kita bisa melihat bahwa sosok-sosok terbaik aset umat ini yang kebanyakan para laki-laki, mereka berada di penjara, diasingkan dari negeri mereka, atau berjuang habis-habisan dalam perjuangan mereka. Lantas, siapa yang akan menjaga keluarga dan merawat anak-anak, serta menunaikan sejumlah tugas domestik? Maka, tiada lain, jawabannya adalah para wanita muslim. Dan bersyukur kepada Allah, bahwa dakwah Islam sanggup untuk memenangi ‘pertempuran’.
Di saat para mujahid Islam diperangi, keberadaan mereka satu persatu dihabisi, maka dakwah juga harus dipikul para muslimah. Kendati mereka dihadapkan pada kekurangan-kekurangan mereka. Hal ini dipahami dengan baik oleh musuh-musuh Islam. Tidak puas hanya dengan memberangus sosok-sosok laki-laki terbaik umat, mereka juga berupaya melemahkan kaum wanitanya. Mereka sepertinya sadar bahwa wanita kekuatan second line umat. Sebagai istri, para muslimah menjadi batu loncatan para suami untuk bisa melompat lebih tinggi. Lalu sebagai ibu, mereka adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Sebagai anak, mereka sanggup menggembleng adik-adik mereka, dan menyemangati kakak-kakak mereka.
Belum selesai terlibat dalam konflik kebenaran vis a vis kebatilan, para muslimah sudah harus dihadapkan pada konflik lainnya. Ya, para pendengki tak ingin wanita muslim menjelma menjadi kekuatan signifikan. Sehingga mereka merasa perlu untuk menghadapkan para muslimah dengan berbagai konflik. Konflik selanjutnya terjadi ketika situasi yang dijalani para muslimah umat sangat tidak Islami, semisal –pertama— banyaknya pembatasan dan –kedua— interaksi sosial yang bertentangan dengan syariah.
Sebagai contoh, adanya pembatasan yang menghalangi para muslimah untuk mendapatkan pendidikan, hak kepemilikan harta, dan lain sebagainya. Atau merebaknya interaksi sosial bernuansa jahiliyah. Yang terakhir ini sangat berbahaya, karena memberi kesempatan kepada kaum liberal modern untuk merangkul para perempuan muslim miskin dan juga tidak berpendidikan. Para liberalis itu menginginkan agar wanita menjadi tak ubahnya sebuah produk yang dipajang dan dipamerkan.
Karena hal-hal di atas, setiap individu muslim yang terlibat dalam dakwah harus membebaskan masyarakat muslim dari dua bentuk jahiliyah tersebut. Bentuk pertama, alih-alih ingin menjaga wanita dari dampak buruk pergaulan kekinian, justru sampai mengharamkan sama sekali hak mencari ilmu, kepemilikan harta, dan lainnya. Sementara bentuk kedua terlalu bebas, sampai-sampai tidak mengindahkan syariat.
Jalan terbaik adalah jalan Islam yang hanif. Islam sangat menghormati wanita dan mengapresiasinya dengan memberi hak pendidikan, kepemilikan harta, dan waris yang selaras dengan petunjuk syariat. Di antara hal-hal yang harus diperjuangkan dalam rangka menutup jalan setan untuk menyebarkan bujuk rayunya adalah tingginya mahar (mas kawin) dalam pernikahan.
Muslimah merupakan intisari dan pokok umat. Segala sesuatu yang merefleksikan kekurangan dan kelemahan para muslimah berpotensi menciptakan kekalahan serta kemunduran. Maka kita harus menjaga setiap aspek tersebut dan memberinya perhatian yang layak. Kita mungkin sering menyaksikan para ikhwan gagal dalam perjuangan mereka. meski demikian, kita jangan sampai melihat para wanita muslim gagal dalam perjuangan mereka mendidik generasi muslim tangguh atau gagal dalam menopang perjuangan kaum laki-laki. Para laki-laki itu boleh saja terbuang dan terbunuh, tapi ‘percetakan’ kader-kader mujahid tangguh itu jangan sampai terhenti. Kita harus senantiasa melihat kesabaran, ketetapan hati, tekad kuat, keimanan, dan determinasi tinggi para muslimah.
Saudari-saudari muslimah kita di Irak, Afghanistan, Palestina, Somalia, Mindanau, Thailand Selatan, dan lainnya merupakan keajaiban-keajaiban Allah dalam hal ini. Beberapa di antara mereka bahkan melebihi ratusan mujahid dalam hal perjuangan, kesabaran, dan ketetapan hati. Pun demikian, kita bisa melihat di negara-negara Arab, betapa kesadaran religius dan eskatologis para muslimah lebih kuat daripada para laki-laki. Keikhlasan mereka untuk menopang perjuangan penegakan syariat Islam lebih tinggi dari kaum Adam.
Alhamdulillah, Rabb semesta alam, di negara-negara Barat kita menyaksikan keislaman, keimanan, dan kesadaran para istri ikhwan non-Arab yang jauh lebih dahsyat dari kalangan laki-lakinya. Dan bahkan, para istri ikhwan-ikhwan imigran Arab, mereka secara umum lebih baik dan ikhlas daripada suami mereka. Penulis pernah membaca sebuah artikel yang menceritakan keluhan-keluhan para wanita muslim mengenai kelesuan suami mereka dalam melakoni berbagai ibadah keagamaan. Jelas, keluhan-keluhan tersebut membuktikan betapa tinggi status saudari-saudari kita, dan membuktikan bahwa mereka bisa lebih baik dari para laki-laki, dengan bantuan Allah.
Tingginya perhatian setan, musuh-musuh Islam dan para pengikutnya terhadap hijab muslimah menunjukkan kepada kita pentingnya konflik ini. Oleh karena itu, tak heran jika Prancis –dengan segala permasalahannya— akan meluangkan perhatiannya untuk memerangi hijab, dan membuat undang-undang untuk mengharamkannya. Dan masih banyak lagi negara-negara Eropa yang mengikuti Prancis dengan segenap gerakan jahat mereka.
Demikian juga, tidak aneh jika kita mengikuti apa yang terjadi di banyak konferensi yang dilakukan musuh-musuh Islam, bahwa perhatian dan upaya akan dicurahkan untuk menghancurkan tatanan keluarga muslim, serta menjauhkan para muslimah dari identitas keislaman mereka.
Untuk menghancurkan Islam, mereka menghancurkan dahulu para wanita, para muslimah, para ‘tulang punggung’ umat. Maka kini terlihat kerusakan bukan saja pada kaum wanita, tetapi kerusakan moral umat pun telah terasa. Para musuh Islam membingkai usaha jahat mereka dengan kedok yang memesona dan bahasa-bahasa menyihir, semisal gerakan feminisme dan emansipasi wanita.
Para musuh Allah ini telah mengangkat isu-isu hak asasi, kebebasan, dan modernisasi untuk menghantam para muslimah. Padahal itu semua mereka lancarkan untuk kehancuran moralitas wanita secara umum dan muslimah secara khusus. Segala media dikerahkan, segala daya dicurahkan agar isu-isu ini termakan oleh para muslimah. Para muslimah dicekoki dengan ‘warna’ mereka. Para intelektual Barat dikerahkan untuk mengangkat isu-isu tersebut dengan menjelek-jelekkan dan menghujat Islam.
Para pendengki menyadari betapa muslimah merupakan salah satu benteng kuat yang signifikan dalam perjuangan Islam. Ya, mereka adalah benteng kokoh, jika dianalogikan dengan konstelasi pertempuran, sedangkan para laki-laki adalah prajurit yang secara langsung terjun di medan tempur. Jadi, peperangan ideologi ini tidak bisa diabaikan begitu saja.
Maka, setiap muslimah harus menyadari posisi mereka. ketahuilah bahwa kalian adalah intisari dan benteng umat. Para muslimah harus membekali diri dengan ilmu dan keimanan yang kokoh. Muslimah yang bodoh dan loyo adalah musuh untuk dirinya, suaminya, keluarganya, dan komunitasnya. Jangan terpedaya jebakan setan yang terejawantahkan dalam adat dan kebiasaan jahiliyah. Karena kebiasaan sosial jahiliyah yang rapuh adalah senjata para musuh Islam dan kaum liberal untuk ‘menjinakkan’ wanita muslim.
Wahai saudari-saudariku, jalanilah segenap wasilah kemenangan, dan bersabarlah. Jadilah seperti ibunda Nabi Musa dalam konteks pertikaiannya dengan Firaun. Dia harus bersusah payah dan mengorbankan putranya untuk dijatuhkan ke Sungai Nil, demi sebuah keyakinan bahwa Musa akan menjadi seorang rasul dan datang kembali memberangus kebatilan, serta mengibarkan bendera tauhid di bumi Mesir.
Perteguhlah keislaman, dan bentengilah diri dari serangan yang dilancarkan musuh Allah lewat berbagai kedok dan tipu muslihatnya. Dalam kolomnya berjudul Golongan Perempuan Penghuni Surga, Saukya Singgih menyatakan, dengan keislaman yang teguh dan ketakwaan kepada Allah dan berusaha secara sungguh-sungguh untuk mencapai profil muslimah sejati, maka akan dapat melihat jelas segala tipu daya mereka.
Sesungguhnya jalan kepada pembentukan pribadi muslimah sejati bukanlah jalan yang mulus dan indah. Tetapi jalan yang penuh pendakian dan rintangan, jalan yang penuh onak dan duri, jalan melawan arus globalisasi jahiliyah. Hendaknya kita pahami betul hal ini. Seorang muslimah yang baik adalah muslimah yang menjadikan muslimah di zaman Rasulullah SAW sebagai cermin dan teladan kita.
Yakinlah bahwa kerja keras, keimanan, dan konsistensi kalian akan dibalas keridhaan dan pahala Allah, serta mendapatkan cinta kami, para laki-laki. Kami memiliki cinta, penghormatan, dan apresiasi sepenuhnya untuk para ibu, saudari, dan putri-putri muslim. Pun demikian, untuk para istri yang penyabar, kami senantiasa menyimpan cinta, pujian, dan rasa syukur. Tanpa kehadiran dan kerja keras kalian –dengan bantuan dan izin Allah— kami bukanlah apa-apa, dan putra-putri kami mungkin takkan memiliki masa depan. [ganna pryadha/voa-islam.com]