WASHINGTON – Banyak perguruan tinggi berjuang keras untuk menciptakan komunitas yang ramah dan inklusif untuk para siswa dari setiap latar belakang. Namun sebuah upaya baru di Universitas George Washington telah mendapatkan kritisi dan pendukung beramai-ramai dengan memanasnya komentar yang terus-terusan dinuangkan ke dalam berbagai blog dan artikel-artikel berita.
Atas permintaan dari Asosiasi Siswa Muslim, George Washington mulai menawarkan sebuah jam-jam renang satu kali seminggu hanya untuk para wanita. Namun hanya baru-baru ini berubah menjadi sebuah perdebatan online atas masalah-masalah keagamaan dan diskriminasi sosial dan – walaupun tidak selalu secara langsung – rasisme, dipicu oleh sebuah artikel di dalam harian siswa, The George Washington Hatchet.
Kolam renang The Lerner Health and Wellness Center (Pusat Kesehatan dan Kebugaran Lerner) tutup bagi pria selama satu dari 20 jam waktu buka setiap pekan, dengan sebuah terpal menghalangi pemandangan melalui pintu kaca dan seorang wanita perenang penyelamat ditugaskan. Universitas tersebut menolak untuk berkomentar untuk artikel tersebut lebih dari sebuah pernyataan dua kalimat yang mengatakan bahwa pejabatnya sedang meninjau ulang penutupan tersebut sementara mereka mengeluarkan sebuah kebijakan renang rekreasi resmi.
Beberapa sorotan dari komentar-komentar Internat pada peliputan kantor berita The Washington Post dan TBD tentang jam-jam renang tersebut. "Seharusnya minoritas yang amat kecil memaksakan mayoritas yang banyak untuk tunduk dengan peraturan mereka atau haruskah sebaliknya?" "Masyarakat Barat tidak seharusnya mengakomodasi untuk Islam pada hal ini; Islamlah yang seharusnya berubah." Dan dalam bantahan: "Ayolah, kawan. Satu jam dalam satu pekan – apa masalahnya?" "Ini bukanlah sebuah permintaan yang tidak beralasan. 'Para wanita' tidaklah setengah dari populasi."
Meskipun terdapat penentang, "Sister's Splash", nama dari program mingguan tersebut, bukanlah satu-satunya akomodasi yang sebuah perguruan tinggi telah buat untuk para siswa Muslim. George Washington telah memiliki tempat membasuh kaki untuk berwudhu, dan sedikit institusi lainnya – termasuk Universitas Michigan-Dearborn dan Universitas George Mason – memiliki akomodasi serupa juga. Pada tahun 2008 atas permintaan siswi Muslim, Univeristas Harvard menjalankan sebuah program percontohan satu semester yang memesan enam jam dalam satu minggu hanya untuk siswa wanita di gym yang jarang digunakan, walaupun program tersebut tidak dilanjutkan setelah semester tersebut. Ada juga Gamma Gamma Chi Sorority Inc., sebuah persaudaraan perempuan yang didasarkan pada Islam yang memiliki lima cabang regional, walaupun tidak semuanya aktif.
Shelley Mountjoy, seorang siswa doktoral di George Mason yang dengat singkat menghadiri George Washington sebagai seorang siswa sarjana, tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi pada sebuah perguruan tinggi swasta. Namun ia menanggapi masalah tempat wudhu di George Mason dan dengan akomodasi keagamaan lainnya di universitas negeri. Ia takut bahwa kebijakan-kebijakan tersebut akan memiliki sebuah efek domino dan menyebar ke perguruan tinggi lainnya. "Saya tidak ingin biaya kuliah saya dibayarkan untuk mengakomodasi keyakinan orang lain," ia mengatakan. "Ini bukan agama keseluruhan kampus. Kami semua tidak harus mendaftar untuk hukum Islam. "
Karena George Washington adalah sebuah universitas swasta, tidak ada masalah konstitusional dengan jam-jam renang tersebut, kata Ayesha N. Khan, direktur legal dari Persatuan Amerika untuk Pemisahan Gereja dan Negara. Seharusnya program yang serupa mulai pada sebuah universitas negeri, keharidan masalah gereja- negara akan bergantung pada banyaknya fakta dari situasi tersebut, seperti apakah akses tersebut adalah agama tertentu, Khan mengatakan.
Ia juga mengatakan bahwa walaupun beberapa kritisi dari jam renang tersebut dan layanan lainnya kemungkinan berasal dari sebuah prasangka tehadap orang-orang Muslim, ia mengambil masalah dengan jenis akomodasi keagamaan apapun. "Saya sebenarnya berpikir bahwa hal ini berada pada kepentingan terbaik setiap orang untuk menjaga agama di luar dari sekolah negeri," ia mengatakan. "Saya akan bereaksi sama jika ini adalah jam-jam renang hanya untuk orang Kristen."
Banyak siswa yang mengatakan bahwa kritik tersebut berasal dari luar kampus. Shaeera Tariq seorang mahasiswa tingkat dua dan wakil presiden Asosiasi Siswa Muslim di George Washington, membantu mengusulkan jam renang tersebut. Ia mengatakan tidak ada orang yang benar-benar mengetahui tentang hal ini sampai artikel Hatchet tersebut muncul, ketika hal tersebut terjadi, ia adalah seorang reporter untuk koran tersebut dan menyerahkan artikel tersebut ke pada editornya. "Artikel tersebut pastinya memicu begitu banyak perdebatan di antara orang-orang, namun nampaknya bagi saya ada sebuah sentimen positif tertentu di kampus dan orang-orang mendukungnya," ia mengatakan. "Kita tidak sedang menutup sebuah mall ataupun yang lainnya selama satu jam. Kami hanya menutup sebuah kolam renang yang tidak terlalu sering digunakan dari pertama kali."
John L. Esposito, seorang profesor studi Islam dan direktur pendiri Pusat Pangeran Alwaleed Bin Talal untuk memahami Muslim-Kristen Universitas Georgetown, mengatakan banyak dari reaksi negatif tidak diragukan lagi berasal dari sebuah "Islamophobia". (ppt/ut) www.suaramedia.com