Home » » Bahagiakan Diri Dengan Ikhlas dan Memaafkan

Bahagiakan Diri Dengan Ikhlas dan Memaafkan

Written By Unknown on Selasa, 24 September 2013 | 06.28


Perkawinan kami telah memasuki usia 13 tahun. Semua berjalan seperti biasa, aku merasa bahagia dengan suami yang penuh kasih sayang, demokratis dan penuh perhatian, serta sayang kepada ke empat anak kami yang kian tumbuh besar dan sehat.

Demikian pula aku merasakan sikap suamiku yang selalu hangat, komunikasi kami sangat baik, terbuka dan saling menghargai. Segala permasalahan biasa kami bicarakan bersama, Tak ada sumbatan, semua hak dan kewajiban sebagai suami  istri dan  tugas kami sebagai orang tua semua berjalan normal pada relnya, Yach… pendek kata aku merasa kehidupan kami semua berjalan baik, tak ada komplain dari suami baik soal kebersihan rumah, masakan, urusan anak, pendidikannya, kebutuhan biologis dan semuanya berjalan normal.

Sesekali aku mendengar suami memancing pembicaraan seputar ta’addud. Aku tak menanggapi dengan serius. Karena aku merasa background keluarga suamiku cukup memberi banyak pelajaran tentang keluarga yang berantakan akibat suami yang beristri lebih dari satu.

Bibi suamiku cukup menderita ketika suaminya (paman suamiku) menikah lagi dan menelantarkan anak-anaknya. Sehingga Ibu mertuaku turut ketiban masalah, mengurus dan merawat keponakan-keponakannya (sepupu suamiku) yang ditelantarkan oleh pamannya. Akibat hal tersebut suamiku menjadi trauma dan tidak menerima perbuatan pamannya dan istri mudanya yang dianggap menjadi biang masalah dalam keluarga bibinya.

Aku yakin suamiku tidak akan berani mengambil langkah seperti pamannya untuk berta’addud karena melihat sendiri sepupunya terlantar akibat ulah pamannya.

Sering aku mendengar selentingan berita miring tentang keluarga tetanggaku yang suaminya ta’addud. Tapi aku menganggap itu urusan pribadi mereka dan tidak akan berimbas kepada keluargaku.

Namun semuanya berubah ketika suatu hari aku menerima telepon dari seseorang yang mengaku kakak dari seorang perempuan, Ia menyampaikan berita yang sungguh mengejutkanku, ia menuduh suamiku telah mengusik ketenangan keluarganya. Dia menjelek-jelekkan suamiku, menuduh telah mengganggu adiknya yang masih asyik belajar di bangku kuliah, sehingga sang adik kehilangan akal sehatnya karena mau dinikahi lelaki tua beristri dan beranak empat.

Tentu saja aku tidak bisa menerima segala tuduhan itu. Aku merasa suamiku tak seperti yang dituduhkan lelaki itu. Selama ini keluarga kami baik-baik saja, suamiku lelaki setia. Namun orang tersebut terus nyerocos di ujung telepon, dan memaksa aku untuk percaya dengan semua informasi yang disampaikannya. “Kalau ibu gak percaya… silakan datang ke sini, suami ibu ada di rumah orang tua saya.”

Bagai langit runtuh… perasaanku campur aduk tak karuan. Aku merasa dikhianati, benci, marah, kecewa, bingung, sedih, galau, bercampur jadi satu. Hatiku periiih… bagai diiris-iris sembilu. Apalagi peristiwa itu sudah terjadi dan berlangsung tiga bulan. Berhari-hari aku menangis… bingung harus bagaimana, tak tahu harus berbuat apa. Namun walau begitu akal sehatku masih berfungsi. Bagaimanapun kacaunya pikiran dan perasaanku, aku tak pernah menunjukkannya kepada anak-anak. Mereka masih kecil-kecil, belum waktunya mereka merasakan kegetiran dan kegalauan hatiku.

Aku tak menyangka kalau akhirnya suamiku berani mengambil keputusan dan melangkah sejauh itu, aku berusaha introspeksi diri, apa yang kurang dalam rumah tangga kami? APA salahku? apa kekuranganku sehingga hatinya berpaling ke wanita lain…. Ya Robb…. kuatkan aku menerima cobaan ini.

Ketika akhirnya pengakuan keluar dari bibir suamiku… hatiku makin hancur, aku ingin berita yang ku dengar adalah BOHONG BESAR….  aku berharap hanya sekadar fitnah, barangkali salah alamat. Ada orang lain yang kebetulan namanya sama dengan nama suamiku. Tetapi ternyata tidak… aku terpaksa dan dipaksa harus menerima kenyataan ini. Pahit… pahit sekali`. Perih…perih teramat sangat. Aku seperti terperosok ke dalam lorong gelap tanpa cahaya… bingung….kecewa…marah.

Ya Robb…. mengapa aku harus menerima ujian ini? apa salah hamba…? apa dosa hamba?Suamiku mengakui bahwa dia terprovokasi oleh beberapa temannya yang lebih dulu melakukan ta’addud. Mereka mengatakan bahwa dengan ta’addud hidup lebih bergairah dan lebih tertantang sebagai lelaki. Rezeki yang dulu pas-pasan setelah ta’addud jadi tambah luas. Entahlah… suamiku jadi berani mengambil keputusan itu karena dipengaruhi dan dipromotori oleh teman-temannya. 

Tentang perempuan itu, mengapa bersedia menjadi istri ke dua? Padahal dia masih muda, masih kuliah, masa depannya masih terbuka luas untuk mendapatkan pasangan hidup yang lebih baik dari suamiku. Orang tuanya sendiri menentang keras, begitu pula keluarganya. Karena dia adalah anak perempuan satu-satunya dari dua bersaudara. Dan tentu saja keluarganya merasa tertimpa musibah/aib dan tercoreng di mata tetangga dan kerabatnya mengetahui keputusan anaknya untuk menikah dengan lelaki beristri dan beranak empat.

Entahlah pikiranku bagai benang kusut tak berujung… mungkin penampilan suamiku mampu menarik hatinya, atau mungkin memang banyak perempuan yang tak tahan berada dalam penantian menunggu jodoh, sehingga jalan ini menjadi pilihannya. Ataukah persaingan sesama perempuan di belantara perjodohan kian berat…? Sehingga dia tak peduli dengan keberatan orang tuanya dan keluarganya, sehingga begitu cuek dan keras hati menghadapi segala pertentangan dalam keluarganya.

Aku merasa hari-hariku menjadi gelap. Muram, tanpa cahaya, tanpa semangat, tanpa gairah. Bumi serasa seperti berhenti berputar. Kaki seperti tak berpijak. Jiwaku terguncang, terjebak dalam kenyataan pahit yang mendera. Wajahku kusut, mataku sembab, bibirku kelu, tak ada senyum mengukir di situ…sedih… deraian air mata menemani hari-hariku.

Dalam kekacauan batin dan kesedihan yang mendera, alhamdulillah… ada teman yang senasib datang memberi taushiyah, berusaha membangunkan kesadaranku untuk melepaskan diri dari kesedihan, menghiburku, memotivasiku, menguatkan hatiku. Dia mengajak dan menemaniku berkonsultasi kepada para ustadz dan ustadzah. Aku merasa tak berdaya, tanpa gairah, pikiran kacau, hati galau.

Alhamdulillah… nasihat dan doa para sahabat, para ustadz dan ustadzah sedikit mengurai duka dan kesedihanku. Suamiku masih memperlakukanku dengan baik. Bahkan seperti ingin menebus rasa bersalahnya, Ia lebih memberi perhatian kepadaku. Dia berusaha sekuat tenaga mengembalikan keceriaanku dan semangat hidupku. Aku sendiri merasa tersiksa berada dalam situasi seperti ini dan ingin segera mengakhirinya.

Nasihat para ustadz dan ustadzah coba aku cerna dan kupahami. Bahwa ta’addud adalah sesuatu yang halal dan disyariatkan Allah. Bahwa Allah menciptakan laki-laki dengan potensi yang lebih dari perempuan. Bahwa Allah menciptakan perempuan lebih banyak dari laki-laki. Bahwa suamiku melangkah dalam jalur yang halal dan bersih bukan jalan haram/maksiat dan kotor yang melanggar agama. Bahwa wanita lain yang dinikahinya dari keluarga baik-baik, keturunan orang baik, memiliki pemahaman agama yang baik, ikut tarbiyah, menutup aurat, sehingga jika Allah kehendaki pernikahan mereka mendapat keturunan, maka keturunan itu dari bibit yang baik.

Semua coba ku cerna satu persatu. Aku mencoba memaafkan suamiku, dan istrinya yang telah mengusik kebahagiaanku.  Aku berusaha menerima bahwa ini bukan sesuatu yang salah. Bahwa ini adalah bagian dari ujian kehidupan. Bahwa ini adalah takdir Allah yang harus kujalani. Bahwa aku harus mencoba memahami dan menjalani peran seperti yang dialami oleh para ummahatul mukminiin, para istri baginda Nabi yang harus rela berbagi suami. Bahwa Allah telah memilihku menjalani takdir ini.

Aku berusaha keras menata hati, mengurai masalah, merubah cara pandang tentang hidup berkeluarga dalam tuntunan Islam. Bahwa peristiwa Ini sudah terjadi… tak mungkin aku surut ke belakang. Jika aku ingin menuntut cerai dari suamiku… apa alasanku?  Aku tak sanggup hidup sebagai single parent. Anak-anakku tak boleh jadi korban sikap egoisku. Suami tetap memperlakukan aku dengan baik, aku dan anak-anak terpenuhi hak-haknya. Karena pada dasarnya suamiku memang menyayangi kami semua.

Jika aku menuntut suamiku menceraikan “madu”ku, dengan alasan apa dia harus diceraikan? Dia menikah secara sah, dia sudah menerima mahar dan sudah menyerahkan “dirinya” kepada suamiku. Aku khawatir… Aku akan menjadi wanita yang menzhalimi sesama perempuan, karena dia pasti akan sangat menderita jika harus hidup dengan menyandang status janda, dan bagaimana dengan anak buah perkawinan mereka? Haruskah anak tanpa dosa menanggung derita akibat perbuatan orang tuanya? .

Yach…aku tak ingin terus berada dalam tekanan jiwa yang menghimpit. Aku harus mengakhiri semuanya. Tak ada yang bisa mengatasi persoalan ini kecuali diriku sendiri. Aku harus berjuang melepaskan diri dari kesedihan. Aku harus bisa menerima kenyataan, harus bisa keluar dari kungkungan rasa kecewa yang menghimpit dada. Harus…. dan harus membebaskan diriku dari penderitaan ini. Tak ada orang yang bisa menolongku kecuali aku berusaha keras menolong diriku sendiri.

Ya Allah… bantulah hamba melepaskan segala beban batin ini…. bantulah aku menjadi hamba yang ikhlas…. Yaa Robb… hamba ridha dengan semua takdir-Mu… asalkan Engkau ridha kepada hamba… Ya Robb… kembalikan kebahagiaan hamba bersama keluarga. Kembalikan keceriaan dan semangat hidup hamba…. Bukalah hati hamba untuk berbagi kepada “dia”… Jadikan kami keluarga yang hidup rukun… berilah hamba ketabahan dan kesabaran menjalaninya… Sujud dan doaku di setiap penghujung malam memohon kekuatan dari yang Maha Kuat.

Aku mulai terhibur ketika mengetahui bahwa aku hamil. Yach… kehamilan ini benar-benar memotivasiku dan menghiburku. Aku mulai melupakan kesedihanku dan sibuk dengan perkembangan janinku. Setidaknya aku bisa mencuri perhatian suamiku agar dia menyadari akan kehadiran “benihnya” yang ditanam di rahimku, salah satu “ladangnya”. Karena aku dengar “ladangnya yang lain” juga sedang menyemai benihnya. Kehamilan ini mengalihkan pikiranku yang kusut secara perlahan mulai terurai.

Waktu terus berjalan… perlahan kedamaian mulai mengisi relung hatiku, aku mulai bisa menerima kehadirannya. Aku mulai terbiasa dengan “pergiliran waktu” yang diatur suamiku. Aku berusaha menjalin komunikasi dengan “maduku”. Aku mencoba menghilangkan beban hatiku dengan seringnya aku memberi hadiah kepadanya. Awalnya berat aku melakukannya. Tapi harus ku coba dan terus ku coba.

Alhamdulillah… beban itu makin terasa ringan…. hatiku makin terasa lapang. Akhirnya jiwaku penasaran dan siap menerima kehadirannya. Ku minta suamiku membawa “maduku” ke rumah, memperkenalkannya kepada kami sebagai bagian dari keluarganya.

Anak-anakku ku perkenalkan dengan “ibu dan adik” barunya. Alhamdulillah… mereka dapat menerimanya set aku memperlihatkan keikhlasanku… keikhlasan yang tulus… tanpa dibuat-buat. Yach… semua bisa menjadi indah asal kita melibatkan Allah dalam setiap kehidupan kita. Sikap dan perilaku suamiku yang tetap mengutamakan diriku sebagai istri pertama yang berjuang dalam pahit getir di awal kehidupan berumah tangga, menjadi kunci utama segala penerimaan ini.

Kekecewaan yang menghimpit berubah menjadi kelapangan yang damai. Kegundahan dan kegalauan menjadi ketenangan dan kenyamanan. Senyumku kembali merekah… wajahku kembali cerah… semangat dan gairah hidupku kembali membuncah.

Yach.. Nyaman dalam kerukunan hidup saling berbagi. Hingga anak “maduku” pun merasa nyaman tinggal bersama kami. Ketika mencari sekolah yang terbaik untuk mendidiknya, kami putuskan dia sekolah di SDIT bersama “saudara-saudara tirinya” nya. Karena jarak tempuh sekolah itu sangat jauh dari rumah ibu kandungnya, dan sebaliknya hanya dibutuhkan beberapa langkah dari rumahku, akhirnya anak “suamiku/ yang juga anak tiriku” tinggal dan hidup bersama ku dalam asuhanku. Hanya sepekan sekali setiap hari Sabtu Ahad dia pulang ke rumah “ibu”nya karena ibu dan neneknya kangen kepadanya. Sekarang “maduku” beranak dua, dia sering berkunjung ke rumahku, rumah suaminya.

Keikhlasanku tumbuh berkat kedekatanku kepada Allah dan kerjasama yang baik dari suamiku. Dia begitu memahami kegalauan hatiku dan berusaha keras menghiburku dan mengurai kesedihanku.
Pesanku kepada para suami istri yang bernasib sama seperti aku, cobalah menata kembali hubungan komunikasi dalam keluarga, perbaiki dan penuhi hak-hak pasangan agar terjadi kerjasama yang baik dalam menjalani biduk rumah tangga.

Kepada para suami Utamakan istri “pertama” karena bersamanya dimulai perjuangan di awal rumah tangga bersabar dalam pahit getir kehidupan. Banyak pengorbanan yang telah diberikan oleh istri pertama. Karena Islam sangat memuliakan perempuan. Arrijaalu qowwamuna alannisaa’ jangan salah diartikan sebagai legitimasi bahwa istri harus taat tanpa reserve dan tanpa hak berpendapat untuk menyuarakan hatinya. Sebaliknya ayat itu harus dipahami bahwa tanggung jawab para suami untuk mengayomi, mendidik dan mengapresiasi istri, sehingga segala potensi istri dapat berkembang optimal tentu tanpa meninggalkan peran utamanya dalam rumah tangga.

Istri yang bahagia akan berdampak luas dan besar dalam kehidupan rumah tangga. Semua penghuni rumah, terutama anak-anak akan sangat berpengaruh perkembangan jiwa raganya jika diasuh oleh ibu yang bahagia. Selalu menyertakan Allah dalam setiap langkah kita. Semoga anak yang lahir dalam keluarga besar ini tumbuh dalam suasana kedamaian dan ketenteraman.

Sertakan Allah dalam setiap langkah kita agar setiap masalah yang timbul, bisa dicarikan solusi sesuai syariah. Sehingga tidak menimbulkan petaka dan kerusakan dalam keluarga seperti “broken home”, kenakalan remaja, kecanduan narkoba yang merusak jiwa raga anak. Sehingga terhindar dari perceraian yang menimbulkan luka mendalam di hati anak-anak. Ciptakan rasa damai dan nyaman di dalam rumah, agar anak-anak tumbuh dan berkembang dalam suasana batin yang hangat dan mesra, semoga lahir generasi baru yang lebih baik.
Share this article :
 
Copyright © 2013. Wanita Muslim - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger