Latest Post
06.28
Bahagiakan Diri Dengan Ikhlas dan Memaafkan
Written By Unknown on Selasa, 24 September 2013 | 06.28
Perkawinan kami telah memasuki usia 13 tahun. Semua berjalan seperti
biasa, aku merasa bahagia dengan suami yang penuh kasih sayang,
demokratis dan penuh perhatian, serta sayang kepada ke empat anak kami
yang kian tumbuh besar dan sehat.
Demikian pula aku merasakan sikap suamiku yang selalu hangat,
komunikasi kami sangat baik, terbuka dan saling menghargai. Segala
permasalahan biasa kami bicarakan bersama, Tak ada sumbatan, semua hak
dan kewajiban sebagai suami istri dan tugas kami sebagai orang tua
semua berjalan normal pada relnya, Yach… pendek kata aku merasa
kehidupan kami semua berjalan baik, tak ada komplain dari suami baik
soal kebersihan rumah, masakan, urusan anak, pendidikannya, kebutuhan
biologis dan semuanya berjalan normal.
Sesekali aku mendengar suami memancing pembicaraan seputar ta’addud.
Aku tak menanggapi dengan serius. Karena aku merasa background keluarga
suamiku cukup memberi banyak pelajaran tentang keluarga yang berantakan
akibat suami yang beristri lebih dari satu.
Bibi suamiku cukup menderita ketika suaminya (paman suamiku) menikah
lagi dan menelantarkan anak-anaknya. Sehingga Ibu mertuaku turut ketiban
masalah, mengurus dan merawat keponakan-keponakannya (sepupu suamiku)
yang ditelantarkan oleh pamannya. Akibat hal tersebut suamiku menjadi
trauma dan tidak menerima perbuatan pamannya dan istri mudanya yang
dianggap menjadi biang masalah dalam keluarga bibinya.
Aku yakin suamiku tidak akan berani mengambil langkah seperti
pamannya untuk berta’addud karena melihat sendiri sepupunya terlantar
akibat ulah pamannya.
Sering aku mendengar selentingan berita miring tentang keluarga
tetanggaku yang suaminya ta’addud. Tapi aku menganggap itu urusan
pribadi mereka dan tidak akan berimbas kepada keluargaku.
Namun semuanya berubah ketika suatu hari aku menerima telepon dari
seseorang yang mengaku kakak dari seorang perempuan, Ia menyampaikan
berita yang sungguh mengejutkanku, ia menuduh suamiku telah mengusik
ketenangan keluarganya. Dia menjelek-jelekkan suamiku, menuduh telah
mengganggu adiknya yang masih asyik belajar di bangku kuliah, sehingga
sang adik kehilangan akal sehatnya karena mau dinikahi lelaki tua
beristri dan beranak empat.
Tentu saja aku tidak bisa menerima segala tuduhan itu. Aku merasa
suamiku tak seperti yang dituduhkan lelaki itu. Selama ini keluarga kami
baik-baik saja, suamiku lelaki setia. Namun orang tersebut terus
nyerocos di ujung telepon, dan memaksa aku untuk percaya dengan semua
informasi yang disampaikannya. “Kalau ibu gak percaya… silakan datang ke
sini, suami ibu ada di rumah orang tua saya.”
Bagai langit runtuh… perasaanku campur aduk tak karuan. Aku merasa
dikhianati, benci, marah, kecewa, bingung, sedih, galau, bercampur jadi
satu. Hatiku periiih… bagai diiris-iris sembilu. Apalagi peristiwa itu
sudah terjadi dan berlangsung tiga bulan. Berhari-hari aku menangis…
bingung harus bagaimana, tak tahu harus berbuat apa. Namun walau begitu
akal sehatku masih berfungsi. Bagaimanapun kacaunya pikiran dan
perasaanku, aku tak pernah menunjukkannya kepada anak-anak. Mereka masih
kecil-kecil, belum waktunya mereka merasakan kegetiran dan kegalauan
hatiku.
Aku tak menyangka kalau akhirnya suamiku berani mengambil keputusan
dan melangkah sejauh itu, aku berusaha introspeksi diri, apa yang kurang
dalam rumah tangga kami? APA salahku? apa kekuranganku sehingga hatinya
berpaling ke wanita lain…. Ya Robb…. kuatkan aku menerima cobaan ini.
Ketika akhirnya pengakuan keluar dari bibir suamiku… hatiku makin
hancur, aku ingin berita yang ku dengar adalah BOHONG BESAR…. aku
berharap hanya sekadar fitnah, barangkali salah alamat. Ada orang lain
yang kebetulan namanya sama dengan nama suamiku. Tetapi ternyata tidak…
aku terpaksa dan dipaksa harus menerima kenyataan ini. Pahit… pahit
sekali`. Perih…perih teramat sangat. Aku seperti terperosok ke dalam
lorong gelap tanpa cahaya… bingung….kecewa…marah.
Ya Robb…. mengapa aku harus menerima ujian ini? apa salah hamba…? apa dosa hamba?Suamiku mengakui bahwa dia terprovokasi oleh beberapa temannya yang
lebih dulu melakukan ta’addud. Mereka mengatakan bahwa dengan ta’addud
hidup lebih bergairah dan lebih tertantang sebagai lelaki. Rezeki yang
dulu pas-pasan setelah ta’addud jadi tambah luas. Entahlah… suamiku jadi
berani mengambil keputusan itu karena dipengaruhi dan dipromotori oleh
teman-temannya.
Tentang perempuan itu, mengapa bersedia menjadi istri ke dua? Padahal
dia masih muda, masih kuliah, masa depannya masih terbuka luas untuk
mendapatkan pasangan hidup yang lebih baik dari suamiku. Orang tuanya
sendiri menentang keras, begitu pula keluarganya. Karena dia adalah anak
perempuan satu-satunya dari dua bersaudara. Dan tentu saja keluarganya
merasa tertimpa musibah/aib dan tercoreng di mata tetangga dan
kerabatnya mengetahui keputusan anaknya untuk menikah dengan lelaki
beristri dan beranak empat.
Entahlah pikiranku bagai benang kusut tak berujung… mungkin
penampilan suamiku mampu menarik hatinya, atau mungkin memang banyak
perempuan yang tak tahan berada dalam penantian menunggu jodoh, sehingga
jalan ini menjadi pilihannya. Ataukah persaingan sesama perempuan di
belantara perjodohan kian berat…? Sehingga dia tak peduli dengan
keberatan orang tuanya dan keluarganya, sehingga begitu cuek dan keras
hati menghadapi segala pertentangan dalam keluarganya.
Aku merasa hari-hariku menjadi gelap. Muram, tanpa cahaya, tanpa
semangat, tanpa gairah. Bumi serasa seperti berhenti berputar. Kaki
seperti tak berpijak. Jiwaku terguncang, terjebak dalam kenyataan pahit
yang mendera. Wajahku kusut, mataku sembab, bibirku kelu, tak ada senyum
mengukir di situ…sedih… deraian air mata menemani hari-hariku.
Dalam kekacauan batin dan kesedihan yang mendera, alhamdulillah… ada
teman yang senasib datang memberi taushiyah, berusaha membangunkan
kesadaranku untuk melepaskan diri dari kesedihan, menghiburku,
memotivasiku, menguatkan hatiku. Dia mengajak dan menemaniku
berkonsultasi kepada para ustadz dan ustadzah. Aku merasa tak berdaya,
tanpa gairah, pikiran kacau, hati galau.
Alhamdulillah… nasihat dan doa para sahabat, para ustadz dan ustadzah
sedikit mengurai duka dan kesedihanku. Suamiku masih memperlakukanku
dengan baik. Bahkan seperti ingin menebus rasa bersalahnya, Ia lebih
memberi perhatian kepadaku. Dia berusaha sekuat tenaga mengembalikan
keceriaanku dan semangat hidupku. Aku sendiri merasa tersiksa berada
dalam situasi seperti ini dan ingin segera mengakhirinya.
Nasihat para ustadz dan ustadzah coba aku cerna dan kupahami. Bahwa
ta’addud adalah sesuatu yang halal dan disyariatkan Allah. Bahwa Allah
menciptakan laki-laki dengan potensi yang lebih dari perempuan. Bahwa
Allah menciptakan perempuan lebih banyak dari laki-laki. Bahwa suamiku
melangkah dalam jalur yang halal dan bersih bukan jalan haram/maksiat
dan kotor yang melanggar agama. Bahwa wanita lain yang dinikahinya dari
keluarga baik-baik, keturunan orang baik, memiliki pemahaman agama yang
baik, ikut tarbiyah, menutup aurat, sehingga jika Allah kehendaki
pernikahan mereka mendapat keturunan, maka keturunan itu dari bibit yang
baik.
Semua coba ku cerna satu persatu. Aku mencoba memaafkan suamiku, dan
istrinya yang telah mengusik kebahagiaanku. Aku berusaha menerima bahwa
ini bukan sesuatu yang salah. Bahwa ini adalah bagian dari ujian
kehidupan. Bahwa ini adalah takdir Allah yang harus kujalani. Bahwa aku
harus mencoba memahami dan menjalani peran seperti yang dialami oleh
para ummahatul mukminiin, para istri baginda Nabi yang harus rela
berbagi suami. Bahwa Allah telah memilihku menjalani takdir ini.
Aku berusaha keras menata hati, mengurai masalah, merubah cara
pandang tentang hidup berkeluarga dalam tuntunan Islam. Bahwa peristiwa
Ini sudah terjadi… tak mungkin aku surut ke belakang. Jika aku ingin
menuntut cerai dari suamiku… apa alasanku? Aku tak sanggup hidup
sebagai single parent. Anak-anakku tak boleh jadi korban sikap egoisku.
Suami tetap memperlakukan aku dengan baik, aku dan anak-anak terpenuhi
hak-haknya. Karena pada dasarnya suamiku memang menyayangi kami semua.
Jika aku menuntut suamiku menceraikan “madu”ku, dengan alasan apa dia
harus diceraikan? Dia menikah secara sah, dia sudah menerima mahar dan
sudah menyerahkan “dirinya” kepada suamiku. Aku khawatir… Aku akan
menjadi wanita yang menzhalimi sesama perempuan, karena dia pasti akan
sangat menderita jika harus hidup dengan menyandang status janda, dan
bagaimana dengan anak buah perkawinan mereka? Haruskah anak tanpa dosa
menanggung derita akibat perbuatan orang tuanya? .
Yach…aku tak ingin terus berada dalam tekanan jiwa yang menghimpit.
Aku harus mengakhiri semuanya. Tak ada yang bisa mengatasi persoalan ini
kecuali diriku sendiri. Aku harus berjuang melepaskan diri dari
kesedihan. Aku harus bisa menerima kenyataan, harus bisa keluar dari
kungkungan rasa kecewa yang menghimpit dada. Harus…. dan harus
membebaskan diriku dari penderitaan ini. Tak ada orang yang bisa
menolongku kecuali aku berusaha keras menolong diriku sendiri.
Ya Allah… bantulah hamba melepaskan segala beban batin ini…. bantulah
aku menjadi hamba yang ikhlas…. Yaa Robb… hamba ridha dengan semua
takdir-Mu… asalkan Engkau ridha kepada hamba… Ya Robb… kembalikan
kebahagiaan hamba bersama keluarga. Kembalikan keceriaan dan semangat
hidup hamba…. Bukalah hati hamba untuk berbagi kepada “dia”… Jadikan
kami keluarga yang hidup rukun… berilah hamba ketabahan dan kesabaran
menjalaninya… Sujud dan doaku di setiap penghujung malam memohon
kekuatan dari yang Maha Kuat.
Aku mulai terhibur ketika mengetahui bahwa aku hamil. Yach… kehamilan
ini benar-benar memotivasiku dan menghiburku. Aku mulai melupakan
kesedihanku dan sibuk dengan perkembangan janinku. Setidaknya aku bisa
mencuri perhatian suamiku agar dia menyadari akan kehadiran “benihnya”
yang ditanam di rahimku, salah satu “ladangnya”. Karena aku dengar
“ladangnya yang lain” juga sedang menyemai benihnya. Kehamilan ini
mengalihkan pikiranku yang kusut secara perlahan mulai terurai.
Waktu terus berjalan… perlahan kedamaian mulai mengisi relung hatiku,
aku mulai bisa menerima kehadirannya. Aku mulai terbiasa dengan
“pergiliran waktu” yang diatur suamiku. Aku berusaha menjalin komunikasi
dengan “maduku”. Aku mencoba menghilangkan beban hatiku dengan
seringnya aku memberi hadiah kepadanya. Awalnya berat aku melakukannya.
Tapi harus ku coba dan terus ku coba.
Alhamdulillah… beban itu makin terasa ringan…. hatiku makin terasa
lapang. Akhirnya jiwaku penasaran dan siap menerima kehadirannya. Ku
minta suamiku membawa “maduku” ke rumah, memperkenalkannya kepada kami
sebagai bagian dari keluarganya.
Anak-anakku ku perkenalkan dengan “ibu dan adik” barunya.
Alhamdulillah… mereka dapat menerimanya set aku memperlihatkan
keikhlasanku… keikhlasan yang tulus… tanpa dibuat-buat. Yach… semua bisa
menjadi indah asal kita melibatkan Allah dalam setiap kehidupan kita.
Sikap dan perilaku suamiku yang tetap mengutamakan diriku sebagai istri
pertama yang berjuang dalam pahit getir di awal kehidupan berumah
tangga, menjadi kunci utama segala penerimaan ini.
Kekecewaan yang menghimpit berubah menjadi kelapangan yang damai.
Kegundahan dan kegalauan menjadi ketenangan dan kenyamanan. Senyumku
kembali merekah… wajahku kembali cerah… semangat dan gairah hidupku
kembali membuncah.
Yach.. Nyaman dalam kerukunan hidup saling berbagi. Hingga anak
“maduku” pun merasa nyaman tinggal bersama kami. Ketika mencari sekolah
yang terbaik untuk mendidiknya, kami putuskan dia sekolah di SDIT
bersama “saudara-saudara tirinya” nya. Karena jarak tempuh sekolah itu
sangat jauh dari rumah ibu kandungnya, dan sebaliknya hanya dibutuhkan
beberapa langkah dari rumahku, akhirnya anak “suamiku/ yang juga anak
tiriku” tinggal dan hidup bersama ku dalam asuhanku. Hanya sepekan
sekali setiap hari Sabtu Ahad dia pulang ke rumah “ibu”nya karena ibu
dan neneknya kangen kepadanya. Sekarang “maduku” beranak dua, dia sering
berkunjung ke rumahku, rumah suaminya.
Keikhlasanku tumbuh berkat kedekatanku kepada Allah dan kerjasama
yang baik dari suamiku. Dia begitu memahami kegalauan hatiku dan
berusaha keras menghiburku dan mengurai kesedihanku.
Pesanku kepada para suami istri yang bernasib sama seperti aku,
cobalah menata kembali hubungan komunikasi dalam keluarga, perbaiki dan
penuhi hak-hak pasangan agar terjadi kerjasama yang baik dalam menjalani
biduk rumah tangga.
Kepada para suami Utamakan istri “pertama” karena bersamanya dimulai
perjuangan di awal rumah tangga bersabar dalam pahit getir kehidupan.
Banyak pengorbanan yang telah diberikan oleh istri pertama. Karena Islam
sangat memuliakan perempuan. Arrijaalu qowwamuna alannisaa’ jangan
salah diartikan sebagai legitimasi bahwa istri harus taat tanpa reserve
dan tanpa hak berpendapat untuk menyuarakan hatinya. Sebaliknya ayat itu
harus dipahami bahwa tanggung jawab para suami untuk mengayomi,
mendidik dan mengapresiasi istri, sehingga segala potensi istri dapat
berkembang optimal tentu tanpa meninggalkan peran utamanya dalam rumah
tangga.
Istri yang bahagia akan berdampak luas dan besar dalam kehidupan
rumah tangga. Semua penghuni rumah, terutama anak-anak akan sangat
berpengaruh perkembangan jiwa raganya jika diasuh oleh ibu yang bahagia.
Selalu menyertakan Allah dalam setiap langkah kita. Semoga anak yang
lahir dalam keluarga besar ini tumbuh dalam suasana kedamaian dan
ketenteraman.
Sertakan Allah dalam setiap langkah kita agar setiap masalah yang
timbul, bisa dicarikan solusi sesuai syariah. Sehingga tidak menimbulkan
petaka dan kerusakan dalam keluarga seperti “broken home”, kenakalan
remaja, kecanduan narkoba yang merusak jiwa raga anak. Sehingga
terhindar dari perceraian yang menimbulkan luka mendalam di hati
anak-anak. Ciptakan rasa damai dan nyaman di dalam rumah, agar anak-anak
tumbuh dan berkembang dalam suasana batin yang hangat dan mesra, semoga
lahir generasi baru yang lebih baik.
Label:
Keluarga Muslimah
07.33
KEUTAMAAN WANITA SHALIHAH
Written By Unknown on Selasa, 17 September 2013 | 07.33
Rasulullah saw. bersabda, “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik
perhiasan dunia adalah isteri yang solehah.” (HR. Muslim, An-Nasa’I dan
Ibnu Majah)
Suatu hari, selepas shalat Subuh, seorang jamaah masjid menghampiri
saya. Pemuda lajang yang sebentar lagi akan diwisuda itu mengajak
berbincang di teras masjid. Rupanya ia ingin bertanya tentang
pernikahan. Maklum, usianya sudah 27 tahun, usia yang sedang
matang-matangnya memikirkan kehidupan rumah tangga. Apalagi ia termasuk
pemuda yang rajin ke masjid. Ia pasti khawatir tidak mampu menjaga agama
dan syahwatnya jika menunda-nunda pernikahan.
Satu pertanyaan sederhana pun meluncur dari mulutnya. “Mas, menurut
Ustadz saya, kalau sudah menikah, seorang laki-laki biasanya tidak
terlalu memandang pada kecantikan isterinya, tetapi lebih kepada
bagaimana kelembutan dan ketaatan sikap wanita itu kepada suaminya. Apa
benar begitu, Mas? Apa pendapat ustadz saya tidak berlebihan? “
Pertanyaan yang sebenarnya sederhana saja, tetapi tidak mudah pula
bagi saya untuk menjawabnya. Menurut saya, apa yang diucapkan sang
ustadz sedikit banyak ada benarnya. Maksudny begini; Ketika mau
menikah, yang mungkin paling dipertimbangkan oleh seorang lelaki dari
calon isterinya adalah pada penampilan fisiknya, wajahnya yang cantik,
tubuhnya yang aduhai, atau bibir dan bola matanya yang menggoda.
Tetapi, begitu perjalanan rumahtangga telah berbilang tahun, maka
kecantikan itu tidak lagi menjadi tolak ukur utama dalam menilai
plus-minus isterinya.
Bukannya kecantikan itu menjadi tidak penting, sehingga si isteri
tidak perlu berhias untuk suaminya. Bukan itu maksudnya. Seorang isteri
masih tetap perlu menjaga penampilan dan kecantikan di depan sang suami
agar suaminya selalu merasa tentram berada di sampingnya. Akan tetapi,
semua kecantikan itu tidak akan lagi bernilai besar jika kewajiban utama
sebagai seorang isteri untuk berakhlak baik dan taat kepada suaminya
tidak dijalankan dengan baik.
Jadi, yang menjadi tolak ukur utama penilaian seorang suami terhadap
isterinya ketika rumah tangga mereka telah melewati beberapa tahun
adalah sejauh mana si isteri menunjukkan rasa cinta dan ketaatan kepada
suaminya.
Mengapa demikian? Karena kecantikan manusia pada dasarnya terbatas.
Perjalanan waktu perlahan akan terus menggerogotinya. Jika pun
kecantikan itu bisa diawetkan, tetapi karena dia bersifat fisik, maka
pada suatu saat bisa membosankan. Apalagi wajah-wajah baru yang lebih
segar terus bermunculan di sekitar suami. Jika dalam situasi seperti itu
wanita masih mengandalkan kecantikan fisiknya untuk mengikat kesetiaan
suaminya, pasti ia harus berani menuai kekecewaan.
Tetapi ketaatan dan akhlak yang baik dari seorang isteri tidak akan
pernah membuat suaminya bosan. Semakin baik akhlak seorang isteri dan
semakin taat ia kepada suaminya, maka akan semakin besarlah rasa bangga
dan cinta suaminya kepada dirinya. Seperti melempar pohon yang lebat
dengan buah, semakin banyak kita melempar, maka akan semakin banyak buah
yang kita dapatkan. Begitu pula ketaatan dan rasa cinta seorang isteri
kepada suaminya.
Dipilih Karena Agamanya
Rasulullah saw. berpesan kepada para lelaki yang hendak mencari pasangan hidup agar lebih mengutamakan calon isteri dengan kriteria yang baik agamanya (akhlaknya) ketimbang tiga kriteria lainnya, yaitu kecantikannya, keturunannya atau hartanya.
Bagi kebanyakan pemuda, biasanya pesan Rasulullah saw. di atas sudah
tidak menjadi pertimbangan lagi dalam memilih pasangan hidup mereka.
Kebanyakan mereka lebih memilih wanita dengan fisik yang cantik dan
aduhai ketimbang pertimbangan agama dan akhlaknya. Bahkan, orang-orang
yang masih mempertimbangkan akhlak dan agama ketika memilih pasangan
hidup, dianggap sebagai orang-orang kuno dan ketinggalan zaman.
Padahal, apa yang dipesankan oleh Rasulullah saw. tetap relevan
hingga sekarang. Begitu banyak lelaki yang harus kecewa setelah
menjalani satu-dua tahun masa-masa kehidupan rumah tangga bersama
perempuan pujaan hatinya. Kecantikan sang isteri yang dulu ia kira akan
membahagiakan rumahtangganya ternyata justru memperbudak dirinya.
Ada pula lelaki yang tetap percaya kepada pesan Rasulullah saw. bahwa
perempuan yang terbaik untuk dipilih mestinya yang baik akhlaknya.
Tetapi, ia tetap lebih memilih kecantikan fisik calon pendamping
hidupnya, dengan alasan bahwa akhlak dan agama isterinya bisa ia rubah
sedikit demi sedikit setelah menikah nanti. Tapi apa yang terjadi? Bukan
akhlak si isteri yang berhasil ia rubah, justru akhlaknya sendirilah
yang akhirnya ikut rusak karena pengaruh dominasi isterinya yang
berakhlak buruk.
Terlalu banyak kasus lelaki yang semasa lajangnya termasuk lelaki
soleh, rajin ke masjid, jujur dan amanah, tetapi setelah menjalani
kehidupan rumah tangga bersama perempuan yang tidak baik akhlak dan
agamanya, justru dirinya ikut terjerumus kedalam berbagai tindakan
kriminal, seperti korupsi, memeras, menyuap dan sebagainya, demi
memenuhi keinginan isterinya yang kemaruk harta.
Pada saat-saat seperti ini, seorang suami barulah menyadari
kekeliruannya dalam memilih pasangan hidup. Tiba-tiba ia sadar, betapa
yang dibutuhkan seorang lelaki di rumahnya hanyalah seorang isteri yang
setia dan taat kepadanya. Ia pun sadar bahwa kecantikan isterinya
tidaklah lebih penting atau tidak lebih utama daripada keluhuran akhlak
dan ketaatan terhadap dirinya sebagai kepala rumah tangga.
Maka tidak heran jika Rasulullah saw. bersabda, “Dunia adalah
perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah isteri yang solehah.”
(HR. Muslim, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Lelaki yang baru menyadari kenyataan di atas setelah satu-dua tahun
perjalanan rumahtangganya, biasanya dihadapkan dua pilihan yang
sama-sama sulit. Pilihan pertama ia tetap menerima perlakuan isterinya
yang tidak solehah (tidak taat), sambil terus berdoa diam-diam agar
Allah merubah kelakuan isterinya, atau sambil berharap bahwa
penerimaannya terhadap sikap isterinya yang tidak patuh itu akan
membuahkan pahala baginya.
Sikap ini hanya akan membuat dirinya sendiri bertambah kecewa dan ia
akan terus memendam ketidakpuasan terhadap isterinya sampai akhir
hayatnya. Atau jika suami kurang imannya, ia akan membalas ketidaktaatan
isterinya dengan jalan berselingkuh. Di rumah, si suami tampak setia
dan menuruti semua kemauan sang isteri, tetapi di luar rumah ia berusaha
mencari wanita lain yang lebih bisa melayaninya dengan baik.
Pilihan kedua, ia bisa merubah kesalahan itu dengan memberikan
pengertian kepada isterinya mengenai peran dan tanggungjawab
masing-masing pihak sesuai syari’at Islam. Pilihan kedua ini pun bukan
tanpa resiko. Bahkan terkadang resikonya terlalu mahal. Memang ada suami
yang dengan kesabaran akhirnya berhasil mendidik isterinya menjadi
sadar diri dan sadar posisinya dalam rumah tangga sehingga hubungan
suami isteri dalam rumah tangga bisa dikembalikan pada rel yang sesuai.
Akan tetapi pada kenyataannya, tidak sedikit keluarga yang harus
kandas ketika seorang suami berusaha mengembalikan posisinya sebagai
kepala rumah tangga yang harus dipatuhi, tetapi mendapat penolakan dari
isterinya yang ingin tetap dominan menyetir sang suami sesuai
keinginannya. Ini bisa terjadi jika si suami tidak sabaran dalam
mendidik isterinya atau sang isteri tidak mau menerima didikan dari
suaminya untuk menegakkan kehidupan rumah tangga yang sesuai dengan
ajaran Rasulullah saw.
Nah, untuk menghindari terjadinya kemungkinan terburuk dalam
kehidupan rumah tangga di kemudian hari, maka sudah seharusnya seorang
lelaki berusaha melihat dengan jeli dan mencari tahu kebaikan akhlak dan
agama dari seorang wanita yang hendak dinikahinya. Hanya dengan memilih
wanita solehah sebagai isterinya, maka rumah tangga yang dibangunnya
akan mampu memberi kebahagiaan, sekaligus membantu menyelamatkan imannya
dari godaan dunia yang melenakan ini.
Maka benarlah apa yang dikatakan Rasulullah saw. bahwa wanita solehah adalah sebaik-baik barang simpanan bagi seorang Muslim.
Dari Ibnu Abbas ra. Rasulullah saw. bersabda kepada Umar, “Tidakkah
engkau ingin kuberitahu tentang sebaik-baik barang simpanan (perhiasan)
seseorang? Ia adalah seorang wanita salehah yang apabilah suaminya
mendatanginya, ia menyenangkan. Apabila diperintah ia taat, dan apabila
suaminya tidak ada, ia menjaga kehormatannya.” (HR. Abu Daud)
Al-Qur’an sendiri menyebutkan dua ciri utama dari wanita solehah. Firman Allah swt.:
“..Maka wanita-wanita solehah itu adalah wanita yang taat kepada
Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah
memelihara mereka…” (QS. An-Nisa’: 34)
Kerelaan untuk menjadi seorang isteri solehah dengan ciri-ciri
seperti disebutkan oleh hadits dan ayat al-Qur’an di atas bukanlah
sesuatu yang sepele dan mudah, tetapi membutuhkan perjuangan dan
mujahadah yang besar. Karena itu, Rasulullah saw. menjanjikan perempuan
seperti ini kelak boleh masuk ke surga dari pintu mana saja yang ia
pilih.
Rasululah saw. bersabda, “Jika seorang isteri telah menunaikan shalat
lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan dan menjaga kemaluannya dari
yang haram, serta taat kepada suaminya, maka akan dipersilahkan
kepadanya untuk masuk ke surge dari pintu mana pun yang ia suka.” (HR.
Ahmad dan Thabrani).
[Sumber: Majalah Hidayah]
Label:
Akhlak Muslimah
07.37
Galau? Inilah Obatnya Ala 'Aid Alqarni
Written By Unknown on Senin, 16 September 2013 | 07.37
Anda gelisah, galau, gundah gulana atas permasalahan yang membuat hati
tidak tenang? Dr A’id AlQarni dalam karangan fenomenalnya La Tahzan mengupas salah satu penyakit hati tersebut.
Bagi Alqarni, tiada suatu amal pun yang lebih melapangkan dada dan lebih membesarkan pahala, selain berdzikir mengingat Allah.
“Berdzikirlah kalian kepada-Ku. niscaya Aku akan mengingat kalian.” (QS. Albaqarah: 132),'' jelas Alqarni mengutip sebuah ayat Alquran.
Dzikirullah adalah surga Allah yang ada di bumi-Nya. Barang siapa yang tidak memasukinya, niscaya dia tidak akan memasuki surga-Nya di akhirat nanti.
Dzikrullah adalah penyelamat jiwa dari kepayahan, kelelahan, dan keguncangannya. Bahkan, ia merupakan jalan yang mudah dan singkat untuk meraih setiap keberuntungan dan keberhasilan.
Bacalah dengan tekun lembaran-lembaran wahyu agar dapat merasakan keuntungan berdzikir. Cobalah pengobatannya selama beberapa waktu agar dapat memperoleh kesembuhan.
Dengan berdzikir kepada Allah, akan terenyahkan berbagai awan ketakutan, kepanikan, kesusahan, dan kesedihan. Dengan berdzikir, akan lenyaplah segunung kesusahan, duka cita, dan kemurungan.
Tidaklah mengherankan bila ahli dzikir hatinya tenang dan tenteram, karena dzikir memang sumber utama dari ketenangan dan ketenteraman.
Akan tetapi, hal yang sangat mengherankan adalah bagaimana orang-orang yang lalai dari dzikir dapat menjalani hidupnya dengan tenang.
Firman Allah SWT, “Mereka benda mati tidak hidup, dan mereka tidak mengetahui kapan diri mereka akan dibangkitkan. ” (QS. 16:21).
Wahai orang yang mengeluh karena tidak bisa tidur, menangis karena pedih, dan mengeluh karena didera bermacam-macam musibah dan tertimpa oleh berbagai macam bencana, serulah dengan memanggil nama-Nya yang suci.
Firman Allah SWT, “Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang setara dengan Dia?"(QS. 19:65).
Dengan banyak berdzikir kepada Allah SWT, akan terasa lapanglah pikiran. Demikian juga hati akan terasa tenang, jiwa akan terasa bahagia, perasaan akan terasa senang.
Hal itu disebabkan dzikir kepada Allah mengandung pengertian tawakkal kepada-Nya, percaya kepada-Nya, berpegang kepada-Nya, kembali kepada-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, dan menanti kemudahan dari-Nya.
Allah Maha dekat apabila diseru. Dia Maha Mendengar apabila dipanggil, Maha Memperkenankan apabila diminta. Oleh sebab itu, rendahkan diri serta tunduk dan patuhlah di hadapan-Nya.
Sebutlah nama-Nya yang baik lagi mengandung barakah oleh lisan Anda dengan mengesakan, memuji, menyanjung, berdo'a, meminta, dan memohon ampun kepada-Nya. Niscaya akan ditemukan kebahagiaan, keamanan, kesenangan, cahaya, dan kegembiraan berkat pertolongan dan kekuatan-Nya.
“Maka Allah memberikan kepada mereka pahala dunia dan pahala terbaik di akhirat.”(QS. 3:148).
Bagi Alqarni, tiada suatu amal pun yang lebih melapangkan dada dan lebih membesarkan pahala, selain berdzikir mengingat Allah.
“Berdzikirlah kalian kepada-Ku. niscaya Aku akan mengingat kalian.” (QS. Albaqarah: 132),'' jelas Alqarni mengutip sebuah ayat Alquran.
Dzikirullah adalah surga Allah yang ada di bumi-Nya. Barang siapa yang tidak memasukinya, niscaya dia tidak akan memasuki surga-Nya di akhirat nanti.
Dzikrullah adalah penyelamat jiwa dari kepayahan, kelelahan, dan keguncangannya. Bahkan, ia merupakan jalan yang mudah dan singkat untuk meraih setiap keberuntungan dan keberhasilan.
Bacalah dengan tekun lembaran-lembaran wahyu agar dapat merasakan keuntungan berdzikir. Cobalah pengobatannya selama beberapa waktu agar dapat memperoleh kesembuhan.
Dengan berdzikir kepada Allah, akan terenyahkan berbagai awan ketakutan, kepanikan, kesusahan, dan kesedihan. Dengan berdzikir, akan lenyaplah segunung kesusahan, duka cita, dan kemurungan.
Tidaklah mengherankan bila ahli dzikir hatinya tenang dan tenteram, karena dzikir memang sumber utama dari ketenangan dan ketenteraman.
Akan tetapi, hal yang sangat mengherankan adalah bagaimana orang-orang yang lalai dari dzikir dapat menjalani hidupnya dengan tenang.
Firman Allah SWT, “Mereka benda mati tidak hidup, dan mereka tidak mengetahui kapan diri mereka akan dibangkitkan. ” (QS. 16:21).
Wahai orang yang mengeluh karena tidak bisa tidur, menangis karena pedih, dan mengeluh karena didera bermacam-macam musibah dan tertimpa oleh berbagai macam bencana, serulah dengan memanggil nama-Nya yang suci.
Firman Allah SWT, “Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang setara dengan Dia?"(QS. 19:65).
Dengan banyak berdzikir kepada Allah SWT, akan terasa lapanglah pikiran. Demikian juga hati akan terasa tenang, jiwa akan terasa bahagia, perasaan akan terasa senang.
Hal itu disebabkan dzikir kepada Allah mengandung pengertian tawakkal kepada-Nya, percaya kepada-Nya, berpegang kepada-Nya, kembali kepada-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, dan menanti kemudahan dari-Nya.
Allah Maha dekat apabila diseru. Dia Maha Mendengar apabila dipanggil, Maha Memperkenankan apabila diminta. Oleh sebab itu, rendahkan diri serta tunduk dan patuhlah di hadapan-Nya.
Sebutlah nama-Nya yang baik lagi mengandung barakah oleh lisan Anda dengan mengesakan, memuji, menyanjung, berdo'a, meminta, dan memohon ampun kepada-Nya. Niscaya akan ditemukan kebahagiaan, keamanan, kesenangan, cahaya, dan kegembiraan berkat pertolongan dan kekuatan-Nya.
“Maka Allah memberikan kepada mereka pahala dunia dan pahala terbaik di akhirat.”(QS. 3:148).
Label:
Cantik dan sehat
06.52
Perjalanan menuju Islam - Lauren Booth 1
Written By Unknown on Minggu, 15 September 2013 | 06.52
Label:
Video Muslimah
07.12
Sumber:Dakwatuna
Penanaman Nilai Akhlak dan Moral Pada Anak
Written By Unknown on Senin, 09 September 2013 | 07.12
Betapa mirisnya wajah Indonesia yang hampir tiap hari disajikan
televisi melalui siaran berita, seperti kasus pemerkosaan, tawuran, dan
tindakan-tindakan kriminal yang seringkali menyebabkan jatuhnya korban,
baik itu korban luka-luka hingga berujung kematian. Yang membuat lebih
miris dari semua itu adalah usia para pelaku yang masih berstatus
pelajar. Bahkan banyak di antara mereka masih duduk di bangku Sekolah
Dasar. Terbesit banyak pertanyaan dalam benak kita, “Ada apa dengan anak
bangsa ini?” Marilah kita sebagai orang tua dan guru yang hakikatnya
sama-sama berperan sebagai pendidik untuk merenungkan sejenak masalah
ini hingga akhirnya tumbuh kepedulian tuk merubah wajah anak negeri.
Setiap anak yang tumbuh dan berkembang, sebelum ia mengalami proses
pendidikan di sekolah, sejatinya berasal dari rumah tempat ia menjalani
hari-harinya bersama keluarga. Karena itu orangtualah yang memegang
peran yang sangat penting dalam hal pendidikan anak, walaupun ada
beberapa kondisi yang menyebabkan anak tidak bisa mendapatkan pendidikan
dari orang tuanya, seperti anak yatim piatu semenjak lahir, anak yang
dibuang oleh orang tuanya dll. Tetapi dalam kondisi normal, orang tua
merupakan pendidik anak yang pertama dan utama. Bahkan dalam Al-Qur’an
serta Sunnah banyak sekali ditegaskan tentang pentingnya mendidik anak
bagi para orang tua. Anak yang terdidik dengan baik oleh orang tuanya
akan tumbuh menjadi anak yang pandai menjaga dirinya dari pengaruh buruk
lingkungan, karena ia telah dibekali oleh ilmu tentang hidup dan
kehidupan yang di dalamnya terdapat ilmu yang paling bermanfaat yaitu
ilmu agama.
Banyak sekali sekolah-sekolah yang memfasilitasi kita untuk menjadi
seperti apa yang kita cita-citakan walaupun tidak selalu terwujudkan,
ingin menjadi dokter ada sekolahnya, ingin menjadi guru juga ada
sekolahnya begitupun dengan Profesi lain. Tetapi adakah sekolah untuk
menjadi orang tua? Padahal setinggi apapun karier kita dalam profesi
tertentu, sejatinya kita akan tetap menjalani fitrah yang sama yaitu
menjadi orang tua, walaupun tidak semua orang ditakdirkan Allah SWT
untuk dapat memiliki anak, maka bersyukurlah bagi kita yang diamanahi
Allah SWT anak-anak yang menjadi penyejuk mata dan harapan di masa yang
akan datang.
Setiap orang tua harus senantiasa belajar tentang ilmu mendidik anak
karena tidak ada Sekolah khusus untuk menjadi orang tua. Tetapi banyak
sekali yang dapat memfasilitasi hal itu jika kita bersungguh-sungguh
ingin belajar menjadi orang tua yang baik, terutama di zaman ini dimana
perkembangan ilmu dan teknologi begitu cepat dan mampu menembus ruang
dan waktu. Orang tua yang memiliki bekal ilmu dalam mendidik anak akan
sadar tentang pentingnya pendidikan anak sejak usia dini bahkan sejak
anak masih berada di dalam rahim ibu, bahkan menurut penelitian, kondisi
ibu saat hamil sangat mempengaruhi akhlak anak, bila ibu mampu menjaga
diri dari makanan-makanan yang tidak halal dan juga perilaku-perilaku
yang tidak terpuji Insya Allah anak yang lahir akan menjadi anak yang
sholeh. Karena tidak ada bayi yang terlahir kecuali suci, namun ia
mencontoh dari orang tua, tontonan televisi/media, guru dan lingkungan
pergaulannya.
Peran Ayah
Selain faktor kondisi ibu, ada hal lain yang tak kalah pentingnya
dalam pendidikan anak sejak dini yaitu peran ayah yang merupakan patner
ibu dalam membentuk generasi yang tangguh dalam menghadapi tantangan
zaman. Sejak anak masih berada dalam kandungan, peran suami dalam
memberi dukungan serta kasih sayang pada istrinya dapat mempengaruhi
kondisi kehamilan, bayi yang berada dalam kandungan ibu pun harus diajak
berinteraksi oleh ayah dan ibunya sebagai tahap awal dalam mendidik
anak. Selain itu memperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an juga terbukti dapat
meningkatkan kecerdasan anak terutama kecerdasan emosi dan spiritual.
Dalam program Make Indonesia Strong from Home, seorang pemerhati anak
yang biasa di panggil Ayah Edy, mengajak kita untuk membentuk
masyarakat yang beradab dengan dimulai dari rumah kita masing-masing,
dengan cara mendidik diri kita untuk menjadi orang tua yang dapat
mendidik anak-anak kita secara benar, menjalankan kewajiban-kewajiban
kita sebagai orang tua dan memberikan apa yang menjadi hak anak-anak
kita. Ternyata banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya
masalah-masalah anak diantaranya kondisi rumah yang tidak harmonis
dimana orang tua mereka tidak dapat menjadi tempat yang nyaman bagi
mereka untuk mereka berbagi rasa. Bahkan tidak jarang dari mereka yang
mendapat kekerasan dari orangtuanya baik itu secara fisik maupun secara
psikis dan lebih memprihatinkan lagi diantara mereka pun mendapatkan
kekerasan seksual dari orangtuanya.
Hal-hal itulah yang membuat karakter mereka menjadi cenderung senang
berbuat kekerasan, karena merekapun dibesarkan dengan kekerasan, jadi
ada semacam pelampiasan di mana mungkin mereka tidak dapat
melampiaskannya kepada orang tua yang telah memperlakukan mereka dengan
kekerasan maka mereka melampiaskannya kepada orang lain. Padahal
Rasulullah adalah manusia yang bersikap lemah lembut terutama pada
anak-anak.
Kekerasan yang di terima anak dari orang tuanya di rumah dapat
menjatuhkan harga diri anak sehingga membuat mereka mencari penghargaan
dari lingkungan di luar rumah terutama dari teman-teman. Mereka menjadi
pribadi yang rapuh dan labil, mudah terpengaruh dan melakukan apapun
agar mendapatkan pengakuan akan eksistensi mereka. Merokok agar dibilang
hebat, bergabung dengan sebuah komunitas agar dibilang gaul,
berpenampilan aneh agar di bilang trendy, hingga terjerumus dalam
narkoba yang dianggap dapat membuat segala masalah mereka menjadi
hilang, dan pergaulan bebas untuk mencari kasih sayang yang tidak mereka
dapatkan di rumah kemudian akhirnya berzina untuk mendapatkan
kenikmatan sesaat. Naudzubillah.
Lingkungan yang buruk membentuk anak menjadi seorang yang berkarakter
buruk, menyelesaikan masalah dengan kekerasan, dan dengan kekerasan
mereka menganggap masalah akan selesai padahal kekerasan yang dilakukan
akan menimbulkan kekerasan yang lain. Sebagai contoh adalah kasus
tawuran yang sekarang ini marak terjadi, kebanyakan pemicunya adalah
kekerasan yang dilakukan baik itu berupa bullying yang diterima oleh
seseorang baik itu berupa ejekan, hinaan, maupun kekerasan fisik yang
berujung timbulnya rasa solidaritas dari komunitas orang itu untuk
melakukan pembalasan terhadap apa yang dilakukan pada teman mereka
kemudian terjadilah penyerangan yang selalu berkelanjutan. Andai mereka
tahu bahwa kekerasan tidak pernah dapat menyelasaikan masalah bahkan
hanya membuat masalah yang baru.
Peran Guru
Begitupun dengan pentingnya peran guru dimana anak-anak itu
bersekolah, begitu kagetnya kita saat melihat di televisi ada oknum guru
yang melakukan kekerasan pada anak didiknya ditambah sistem pendidikan
yang terlalu fokus pada nilai ujian ketimbang penanaman nilai akhlak.
Guru yang seharusnya menjadi orang yang di gugu dan ditiru terkadang
belum memahami betapa mulia tugas yang di embannya yaitu sebagai
pendidik generasi.
Selama ini banyak dari para guru hanya menjalankan tugasnya sebagai
pengajar bukan sebagai pendidik. Bagi mereka yang terpenting target
kurikulum sudah mereka sampaikan pada anak didik tanpa memberi ruh pada
setiap apa yang mereka sampaikan. Karena itu negeri ini merindukan
hadirnya guru-guru seperti bu Muslimah dalam Film Laskar Pelangi, Ustadz
Salman dalam Negeri Lima Menara dan guru-guru lain yang ternyata ada
dalam kehidupan nyata dan mampu menginspirasi anak-anak didik mereka tuk
menjadi sukses.
Tampaknya pemerintah pun perlu belajar dari negeri-negeri lain
seperti Jepang yang begitu menghargai profesi guru sehingga diharapkan
dengan penghargaan yang layak, guru-guru negeri ini dapat termotivasi
tuk lebih maksimal lagi dalam meningkatkan kualitas diri mereka sebagai
pendidik dan tak lagi sibuk berdemo untuk meminta kenaikan gaji karena
kesejahteraan hidup mereka yang kurang, sementara itu anak-anak murid
mereka menjadi terbengkalai hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan.
UAN Bikin Stres
Wajah anak-anak negeri inipun dipenuhi dengan beban-beban psikis tak
hanya mereka dapatkan dari rumah tetapi dari sekolah yang menerapkan
sistem Ujian Akhir Nasional (UAN) yang membuat mereka stres, jika
dibandingkan dengan negara Finlandia yang merupakan negara dengan sistem
pendidikan terbaik No 1 sedunia. Maka Indonesia harus belajar bagaimana
negara Finlandia menerapkan ujian nasional berupa ujian moral bukan
ilmu pengetahuan umum seperti di negara kita. Untuk Ilmu Pengetahuan
Umum, pemerintah mereka menyerahkannya kepada sekolah masing-masing
karena dianggap sekolahlah yang paling mengetahui sejauh mana materi
yang telah disampaikan oleh para guru dan sejauh mana kemampuan anak
didik mereka.
Tetapi sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah Finlandia
sangat berpengaruh pada karakter warga negaranya, di Finlandia jika
mereka tidak sengaja menyenggol orang ketika sedang berjalan maka mereka
akan langsung meminta maaf bandingkan dengan di negara kita banyak
kasus perkelahian yang terjadi hanya karena tidak sengaja menyenggol
seseorang. Untuk urusan tindak kriminal pun di Finlandia memiliki
presentase yang terendah, bahkan katanya walaupun kita memparkir
kendaraan kita tanpa menguncinya, kita tetap merasa aman. Subhanallah,
bukankah wajah negeri seperti itu yang seharusnya menjadi wajah
Indonesia dimana mayoritas warganya beragama Islam?
Mari perhatikan anak-anak yang harus mengikuti sistem pendidikan
negara ini, menjelang UAN mereka tampak stress, berbagai ritual mereka
ikuti mulai dari teriak massal yang diyakini dapat membuang stress dan
menciptakan rasa lega, bahkan diantara mereka mengikuti ritual yang
bernuansa klenik. Tidak selesai di situ, pada saat UAN tiba beberapa
sekolah tertangkap tangan sedang memberikan contekan demi meluluskan
anak didiknya. Bagaimanakah anak-anak negeri ini dapat menjadi wajah
penuh kebaikan jika hidup dalam lingkungan yang keras dan penuh ketidak
jujuran, orang tua dan guru yang mestinya menjadi teladan kebaikan
tetapi malah mengajarkan hal yang sebaliknya.
Masih lekat dalam ingatan kita tawuran yang terjadi antara pelajar
SMK Kartika Zeni dan SMA Yayasan Karya 66 . Akibat tawuran itu satu
orang pelajar tewas. Beberapa tersangka tawuran berhasil diamankan oleh
pihak berwajib, saat Menteri Pendidikan M.Nuh bertanya kepada salah
seorang pelaku pembunuhan tentang bagaimana perasaannya, dengan
santainya ia menjawab “ saya puas telah membunuhnya.” Satu hal lagi yang
perlu kita ketahui, bahwa pelaku tawuran yang membunuh rekannya sesama
pelajar di Bulungan merupakan siswa yang semasa SMP selalu mendapatkan
peringkat pertama di sekolahnya. Ternyata kepintaran siswa/I kita tidak
lantas menjadikan mereka pribadi yang berakhlakul karimah.
Semua masalah yang terjadi pada anak-anak negeri ini bagaikan mata
rantai yang saling berkaitan satu sama lain. Karenanya sebagai orang
tua, guru dan juga pemerintah harus saling mendukung dalam hal
pendidikan anak. Peran orang tua adalah menjadi pendidik anak yang
utama, dan harus diingat bahwa mendidik anak bukan hanya tugas seorang
ibu, tetapi kehadiran seorang ayah dalam hal mendidik anak juga tidak
kalah pentingnya. Bukankah di dalam Al-Qur’an begitu banyak ayat-ayat
yang mengabadikan kisah para ayah yang mendidik anaknya untuk senantiasa
beribadah kepada Allah SWT diantaranya kisah Lukman dengan anaknya
serta Nabi Ibrahim as dengan Nabi Ismail as anaknya.
Sementara yang terjadi pada saat ini banyak anak-anak kita kehilangan
figur seorang ayah, bagi mereka ayah adalah sosok yang harus ditakuti,
karena ayah menempatkan diri hanya sebagai pemberi nafkah dan orang yang
memiliki kekuasaan atas istri dan anak-anaknya bukan sebagai teladan
yang dapat dijadikan sahabat untuk berbagi sehingga tercipta suasana
penuh keakraban yang membuat anak merasa aman dan nyaman. Ibu dan ayah
hendaknya selalu meluangkan waktu membuka komunikasi dengan anak,
mendengarkan pendapat serta perasaan anak, berdiskusi dengan anak
tentang perilaku baik dan buruk serta konsekuensinya, dan semua itu
harus dikemas dalam nilai-nilai agama yang berorientasi pada akhirat.
Sebagai orang tuapun hendaknya menjadikan rumah sebagai tempat dimana
anak merasa nyaman sehingga kemanapun anak pergi, ia dapat merasakan
kerinduan untuk kembali ke rumah karena di rumah ia mendapatkan apa yang
ia butuhkan, dan rumah yang ternyaman adalah rumah yang senantiasa
menghadirkan Allah SWT di dalamnya, rumah yang menjadi Baiti Jannati,
surga sebelum surga yang sebenarnya. Jika orang tua selalu menghadirkan
Allah SWT dalam diri anak, maka anak akan selalu merasakan pengawasan
Allah SWT dalam setiap tindak tanduknya.
Oleh sebab itu sebagai orang tua marilah kita sama-sama memperbaiki
pola asuh kita, anak adalah amanah Allah SWT yang akan kita pertanggung
jawabkan di hadapanNya kelak. Begitupun peran guru yang menjadi
pengganti orangtua di sekolah, guru pun memiliki peran penting dalam
membentuk akhlak anak didiknya dan pemerintah harus memberikan perhatian
yang besar dalam memperbaiki sistem pendidikan yang lebih ramah anak
dan lebih menitik beratkan kepada Nilai Akhlak dan Moral.***Wallahu
a’lam.
Sumber:Dakwatuna
Label:
Keluarga Muslimah