Sesungguhnya, dalam menjalani berbagai perannya, peran wanita dapat dipetakan menjadi tiga peran penting yaitu sebagai sebagai pribadi muslimah, sebagai istri, dan sebagai ibu. Pada masing-masing peran, dibutuhkan ilmu yang dapat menjaganya dari berbagai bentuk penyimpangan. Berikut penjelasan ketiga hal tersebut:
1. Sebagai pribadi muslimah
Seorang muslimah akan selalu terikat dengan berbagai aturan agama yang menyangkut dirinya sebagai seorang yang beragama Islam seperti kewajiban untuk merealisasikan rukun iman dan rukun Islam serta aturan lain yang merupakan konsekuensi dari kedua hal tersebut ataupun kewajiban yang terkait dengan kedudukannya sebagai seorang wanita seperti larangan dan kewajiban pada masa haid, kewajiban menutup aurot, dan sebagainya. Seluruh hal tersebut memerlukan ilmu sehingga kewajiban menuntut ilmu juga dibebankan kepda kaum wanita sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Mencari ilmu itu merupakan kewajiban bagi seorang muslim.” (Hadits shahih riwayat Ibnu Adi dan Baihaqi dari Anas radhiyallahu ‘anhu )
Al Hafizh Al Sahawi rahimahullah berkata, “Sebagian penulis menambahkan kata-kata muslimatin pada akhir hadits. Kata-kata ini tidak pernah disebutkan satu kali pun dalam berbagai sanad hadits tersebut, sekalipun secara makna memang benar.”
Bertolak dari hal ini Ibnu Hazm rahimahullah berkomentar, “Menjadi kewajiban bagi wanita untuk pergi dalam rangka mendalami ilmu agama sebagaimana hal ini menjadi kewajiban bagi kaum laki-laki. Setiap wanita diwajibkan untuk mengetahui ketentuan-ketentuan agama berkenaan dengan permasalahan bersuci, shalat, puasa dan makanan, minuman, serta pakaian yang dihalalkan dan yang diharamkan sebagaimana kaum laki-laki, tanpa ada perbedaan sedikitpun di antara keduanya. Mereka juga harus mempelajari berbagai tutur kata dan sikap yang benar baik dengan belajar sendiri maupun dengan diperkenankan untuk bertemu seseorang yang dapat mengajarinya. Menjadi kewajiban para penguasa untuk mengharuskan rakyatnya agar menjalankan kewajiban ini”. (Al Ihkam fii Ushulil Ahkam 1/413 dalam Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah, hlm. 7).
Al Hafizh Ibnul Jauzi rahimahullah juga berkata, “Sering aku menganjurkan kepada manusia agar mereka menuntut ilmu syar’i karena ilmu laksana cahaya yang menyinari. Menurutku kaum wanita lebih dianjurkan dibanding kaum laki-laki karena jauhnya mereka dari ilmu agama dan hawa nafsu begitu mengakar dalam diri mereka. Kita lihat seorang putri yang tumbuh besar tidak mengerti cara bersuci dari haid, tidak bisa membaca Al Qur’an dengan baik dan tidak mengerti rukun-rukun Islam atau kewajiban istri terhadap suami. Akhirnya mereka mengambil harta suami tanpa izinnya, menipu suami dengan anggapan boleh demi keharmonisan rumah tangga serta musibah-musibah lainnya.” (Ahkamun Nisa’ hlm. 6 dalam Majalah Al Furqon edisi 11 tahun VII).
2. Sebagai istri
Seorang istri memiliki kewajiban untuk menaati suaminya dalam hal-hal yang bukan merupakan kemaksiatan terhadap Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى المَََْعْرُوْفِ
“Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka tidaklah seorang istri dapat mengetahui apakah suatu urusan merupakan kemaksiatan atau bukan kecuali dengan ilmu syar’i.
Selain itu, di akhir zaman ini, ketika keburukan banyak bertebaran di muka bumi yang membuat banyak orang hanyut dalam lumpur dosa, maka seorang istri yang sholihah harus membekali dengan ilmu syar’i agar dapat menjaga keistiqomahan dirinya dan suaminya serta keluarganya. Dengan nasihat yang baik dan kelemahlembutan yang dimiliki seorang wanita, seorang suami akan mampu menemukan ketenangan dan kekuatan yang akan menjaga dirinya dan keluarganya dari perbuatan-perbuatan dosa misalnya berbuat syirik dan bid’ah, berzina, mencari nafkah yang haram, mengambil riba, dan perkara-perkara maksiat lainnya. Karena agama adalah nasihat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الـدِيْـنُ النَصِيْحَةُ
“Agama adalah nasiha.t” (HR. Muslim)
Nasihat akan lebih dapat diterima oleh hati manusia jika diiringi dengan sikap lemah lembut. Allah Ta’ala berfirman dalam rangka memberi perintah kepada Nabi Musa ‘alaihissalam dan saudaranya (Harun) ketika berdakwah kepada Fir’aun,
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى٭ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى٭
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Qs. Thaahaa : 43-44)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam sebuah hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
يَا عَائِشَة إِنَّ الرِّفْقَ مَا كَانَ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَنُزِعَ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Wahai ‘Aisyah, tidaklah kelembutan terdapat pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu melainkan akan memburukkannya.”
3. Sebagai ibu
Sebuah syair Arab mengungkapkan hal berikut,
الأُمُّ مَدْرَسَةٌ إِذَا أَعْدَدْتَهَا أَعْدَدْتَ شَعْبًا طَيِّبَ الْأَعْرَاقِ
“Seorang ibu tak ubahnya bagai sekolah. Bila kita mempersiapkan sekolah itu secara baik, berarti kita telah mempersiapkan suatu bangsa dengan generasi emas.”
Beban perbaikan dan pembentukan masyarakat yang Islami juga menjadi tanggung jawab wanita. Hal ini dikarenakan jumlah wanita yang lebih banyak dari laki-laki dan seorang anak tumbuh dari bimbingan seorang wanita. Maka, tidak bisa tidak seorang wanita harus membekali dirinya dengan ilmu syar’i khususnya mengenai pendidikan anak karena pendidikan anak menjadi tugas utama yang dibebankan kepada kaum wanita.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hendaknya seorang wanita membaguskan pendidikan anak-anaknya karena anak-anaknya adalah generasi penerus di masa yang akan datang. Dan yang mereka contoh pertama kali adalah para ibu. Jika seorang ibu mempunyai akhlak, ibadah, dan pergaulan yang bagus, mereka akan tumbuh terdidik di tangan seorang ibu yang bagus. Anak-anaknya ini akan mempunyai pengaruh positif dalam masyarakat. Oleh karena itu, wajib bagi para wanita yang mempunyai anak untuk memperhatikan anak-anaknya, bersungguh-sungguh dalam mendidik mereka, memohon pertolongan jika suatu saat tidak mampu memperbaiki anaknya baik lewat bantuan bapak atau jika tidak ada bapaknya lewat bantuan saudara-saudaranya atau pamannya dan sebagainya”. (Daurul Mar’ah fi Ishlah Al Mujtama’ hlm. 25-26 dalam Majalah Al Furqon edisi 12 tahun VIII)
Seorang ibu yang cerdas dan shalihah tentu saja akan melahirkan keturunan yang cerdas dan sholih pula, bi idzinillah. Lihatlah hal itu dalam diri seorang shahabiyah yang mulia, Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang merupakan pembantu setia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain cerdas, ia juga penyabar dan pemberani. Ketiga sifat mulia inilah yang menurun kepada Anas dan mewarnai perangainya di kemudian hari. (Ibunda Para Ulama, hlm.25)
Dengan kecerdasannya, ia ‘hanya’ meminta sebuah mahar yang ringan diucapkan namun terasa berat konsekuensinya, yaitu keislaman Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu yang meminangnya saat itu. Dengan kesabarannya pula, ia mampu menyimpan rapat-rapat kesedihannya karena kematian putranya demi menenangkan suaminya.
Potret Semangat Para Salafush Shalih dalam Menuntut Ilmu
Demikian pentingnya peran para wanita. Dalam setiap lini kehidupannya, pasti membutuhkan ilmu syar’i. Hal ini pula yang dimengerti betul oleh para shahabiyah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga mereka meminta waktu khusus pada beliau untuk mengkaji masalah-masalah agama.
Dari Abu Sa’id Al Khudriy radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa ada seorang wanita menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, kaum laki-laki telah memborong waktumu. Oleh karenanya peruntukkanlah untuk kami sebuah waktu khusus yang engkau tetapkan sendiri. Pada waktu itu kami akan mendatangimu lalu engkau ajarkan kepada kami ilmu yang telah Allah ajarkan kepadamu.”
Bersambung...
Al Hafizh Ibnul Jauzi rahimahullah juga berkata, “Sering aku menganjurkan kepada manusia agar mereka menuntut ilmu syar’i karena ilmu laksana cahaya yang menyinari. Menurutku kaum wanita lebih dianjurkan dibanding kaum laki-laki karena jauhnya mereka dari ilmu agama dan hawa nafsu begitu mengakar dalam diri mereka. Kita lihat seorang putri yang tumbuh besar tidak mengerti cara bersuci dari haid, tidak bisa membaca Al Qur’an dengan baik dan tidak mengerti rukun-rukun Islam atau kewajiban istri terhadap suami. Akhirnya mereka mengambil harta suami tanpa izinnya, menipu suami dengan anggapan boleh demi keharmonisan rumah tangga serta musibah-musibah lainnya.” (Ahkamun Nisa’ hlm. 6 dalam Majalah Al Furqon edisi 11 tahun VII).
2. Sebagai istri
Seorang istri memiliki kewajiban untuk menaati suaminya dalam hal-hal yang bukan merupakan kemaksiatan terhadap Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى المَََْعْرُوْفِ
“Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka tidaklah seorang istri dapat mengetahui apakah suatu urusan merupakan kemaksiatan atau bukan kecuali dengan ilmu syar’i.
Selain itu, di akhir zaman ini, ketika keburukan banyak bertebaran di muka bumi yang membuat banyak orang hanyut dalam lumpur dosa, maka seorang istri yang sholihah harus membekali dengan ilmu syar’i agar dapat menjaga keistiqomahan dirinya dan suaminya serta keluarganya. Dengan nasihat yang baik dan kelemahlembutan yang dimiliki seorang wanita, seorang suami akan mampu menemukan ketenangan dan kekuatan yang akan menjaga dirinya dan keluarganya dari perbuatan-perbuatan dosa misalnya berbuat syirik dan bid’ah, berzina, mencari nafkah yang haram, mengambil riba, dan perkara-perkara maksiat lainnya. Karena agama adalah nasihat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الـدِيْـنُ النَصِيْحَةُ
“Agama adalah nasiha.t” (HR. Muslim)
Nasihat akan lebih dapat diterima oleh hati manusia jika diiringi dengan sikap lemah lembut. Allah Ta’ala berfirman dalam rangka memberi perintah kepada Nabi Musa ‘alaihissalam dan saudaranya (Harun) ketika berdakwah kepada Fir’aun,
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى٭ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى٭
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Qs. Thaahaa : 43-44)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam sebuah hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
يَا عَائِشَة إِنَّ الرِّفْقَ مَا كَانَ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَنُزِعَ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Wahai ‘Aisyah, tidaklah kelembutan terdapat pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu melainkan akan memburukkannya.”
3. Sebagai ibu
Sebuah syair Arab mengungkapkan hal berikut,
الأُمُّ مَدْرَسَةٌ إِذَا أَعْدَدْتَهَا أَعْدَدْتَ شَعْبًا طَيِّبَ الْأَعْرَاقِ
“Seorang ibu tak ubahnya bagai sekolah. Bila kita mempersiapkan sekolah itu secara baik, berarti kita telah mempersiapkan suatu bangsa dengan generasi emas.”
Beban perbaikan dan pembentukan masyarakat yang Islami juga menjadi tanggung jawab wanita. Hal ini dikarenakan jumlah wanita yang lebih banyak dari laki-laki dan seorang anak tumbuh dari bimbingan seorang wanita. Maka, tidak bisa tidak seorang wanita harus membekali dirinya dengan ilmu syar’i khususnya mengenai pendidikan anak karena pendidikan anak menjadi tugas utama yang dibebankan kepada kaum wanita.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hendaknya seorang wanita membaguskan pendidikan anak-anaknya karena anak-anaknya adalah generasi penerus di masa yang akan datang. Dan yang mereka contoh pertama kali adalah para ibu. Jika seorang ibu mempunyai akhlak, ibadah, dan pergaulan yang bagus, mereka akan tumbuh terdidik di tangan seorang ibu yang bagus. Anak-anaknya ini akan mempunyai pengaruh positif dalam masyarakat. Oleh karena itu, wajib bagi para wanita yang mempunyai anak untuk memperhatikan anak-anaknya, bersungguh-sungguh dalam mendidik mereka, memohon pertolongan jika suatu saat tidak mampu memperbaiki anaknya baik lewat bantuan bapak atau jika tidak ada bapaknya lewat bantuan saudara-saudaranya atau pamannya dan sebagainya”. (Daurul Mar’ah fi Ishlah Al Mujtama’ hlm. 25-26 dalam Majalah Al Furqon edisi 12 tahun VIII)
Seorang ibu yang cerdas dan shalihah tentu saja akan melahirkan keturunan yang cerdas dan sholih pula, bi idzinillah. Lihatlah hal itu dalam diri seorang shahabiyah yang mulia, Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang merupakan pembantu setia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain cerdas, ia juga penyabar dan pemberani. Ketiga sifat mulia inilah yang menurun kepada Anas dan mewarnai perangainya di kemudian hari. (Ibunda Para Ulama, hlm.25)
Dengan kecerdasannya, ia ‘hanya’ meminta sebuah mahar yang ringan diucapkan namun terasa berat konsekuensinya, yaitu keislaman Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu yang meminangnya saat itu. Dengan kesabarannya pula, ia mampu menyimpan rapat-rapat kesedihannya karena kematian putranya demi menenangkan suaminya.
Potret Semangat Para Salafush Shalih dalam Menuntut Ilmu
Demikian pentingnya peran para wanita. Dalam setiap lini kehidupannya, pasti membutuhkan ilmu syar’i. Hal ini pula yang dimengerti betul oleh para shahabiyah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga mereka meminta waktu khusus pada beliau untuk mengkaji masalah-masalah agama.
Dari Abu Sa’id Al Khudriy radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa ada seorang wanita menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, kaum laki-laki telah memborong waktumu. Oleh karenanya peruntukkanlah untuk kami sebuah waktu khusus yang engkau tetapkan sendiri. Pada waktu itu kami akan mendatangimu lalu engkau ajarkan kepada kami ilmu yang telah Allah ajarkan kepadamu.”
Bersambung...