Sensasi memang membuat orang terkenal dan hanya untuk itu banyak orang mengorbankan kehormatannya. Demikianlah jaringan iblis senantiasa berusaha menjerat anak manusia kepada kesesatan dan penyimpangan dengan melemparkan senjata pamungkasnya yaitu syubhat dan syahwat. Dewasa ini ada sekelompok orang yang mengaku islam bebas menggembar-gemborkan isu kesamaan gender dengan segala cara dan didukung dana besar dari orang kafir. Mereka sengaja ingin mengaburkan dan meliberalisasikan Islam sehingga menjadi agama yang jauh dari tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dekat dengan tuntunan musuh-musuh Islam.
Di antara program memuluskan konsep persamaan gender ini adalah upaya menyetarakan laki-laki dan perempuan dalam ibadah dan ketentuan Islam yang sudah jelas dibedakan, seperti hak waris, hak kebebasan berapresiasi dan bekerja di lapangan kerja laki-laki dan lainnya.
Pada beberapa waktu lalu juga ada upaya mereka memuluskan konsep ini dengan mengangkat berita wanita yang dipanggil dengan nama Amina Wadud yang mengimami sholat Jumat di sebuah gereja Anglikan the Synod House of Cathedral of St John thi devine di New York yang dipublikasikan di banyak media cetak dengan dibumbui komentar beberapa “intelektual” dan “kiai” yang dikesankan hal itu tidak bertentangan dengan syariat islam. Untuk itulah tampaknya perlu kita komentari komentar mereka tersebut agar masyarakat Islam tidak tertipu dan terperdaya syubhat mereka. Walaupun sebenarnya membutuhkan penjabaran yang panjang, namun dalam kesempatan ini kita coba menyampaikannya dengan ringkas saja. Untuk mendukung program mereka ini mereka menemukan hadits Ummu Waroqah yang di riwayatkan imam Abu Daud dalam ٍSunannya yang berbunyi:
عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُورُهَا فِي بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا رَأَيْتُ مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا كَبِيرًا
“Dari Ummu Waroqah bintu Abdillah bin Al Haarits, beliau menyatakan bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata, saya melihat muazinnya seorang lelaki tua.” (HR. Abu Daud Lihat Sunan Abu Daud Kitab Al Sholat Bab Imamat Al Nisaa’ hadits no. 577 dan 578)
Kata mereka lebih kuat keabsahan sanadnya, tentunya apalagi matannya. Mereka mengesankan bahwa hadits ini adalah hadits yang absah tanpa cacat lalu menjadikannya sebagai senjata menyerang ulama dan menghukum bahwa islam yang kita warisi ini adalah islam politik, dengan terlebih dahulu menyampaikan pendapat imam Abu Tsaur, Al Muzani dan Ibnu Jarir Ath Thabari yang mendukung pendapat mereka. Tentu saja dengan dibumbui komentar untuk menciptakan opini bahwa pendapat mereka ini sejajar dengan pendapat imam mazhab yang empat, dengan menyatakan: “Perlu diingatkan di sini Ibnu Jarir Ath Thobari juga seorang mujtahid besar yang kebesarannya sama dengan mazhab fikih empat lainnya.” Kemudian mereka mencoba membantah pendapat mayoritas ulama Islam yang melarang wanita menjadi imam dalam sholat dengan mengemukakan satu dalil yang lemah yaitu hadits Jabir yang berbunyi:
لَا تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلًا وَلَا يَؤُمَّ أَعْرَابِيٌّ مُهَاجِرًا وَلَا يَؤُمَّ فَاجِرٌ مُؤْمِنًا
“Janganlah sekali-kali perempuan mengimami laki-laki, Arab Badui mengimami Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah) dan pendosa mengimami mukmin yang baik.”
Mereka menyatakan, hadits itulah sering dikemukakan di banyak tempat untuk menopang argumen yang tidak memperbolehkan perempuan mengimami laki-laki dalam sholat. Lalu bagaimana sebenarnya permasalahan ini?
Hadits yang mereka jadikan penopang argumen mereka dalam membolehkan wanita mengimami laki-laki dan menyetujui serta memuji tindakan Amina Wadud di atas, sebenarnya adalah hadits yang masih diperselisihkan keabsahannya, sebab dalam sanadnya ada perawi yang majhul (tidak jelas kredibilitasnya) yaitu Abdurrahman bin Kholaad, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar Al Asqalaani, seorang ulama besar mazhab Syafi’iyah pengarang kitab Fathul Bari yang sangat tersohor yang meninggal tahun 852 H. Demikian juga pada riwayat yang lebih panjang dan lengkap ada dalam sanadnya Abdurrahman ini dan neneknya Al Walid bin Abdullah bin Jumai’ yang bernama Laila bintu Maalik yang juga majhul. Sehingga banyak juga yang mendhoifkannya seperti Syaikh Musthofa Al Adawi dalam Jami’ Ahkam Al Nisa, (1/244). Seandainya pun absah, sebagaimana dinyatakan Syaikh Al Albani bahwa hadits ini Hasan Lighoirihi (hadits lemah yang dikuatkan oleh jalan periwayatan lain), namun matannya pun tidak mendukung pembenaran wanita mengimami sholat Jumat di hadapan laki-laki yang banyak, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memerintahkannya mengimami sholat di rumahnya untuk keluarga dan orang yang di rumahnya. Itu pun bisa jadi perintah itu khusus untuknya, sebab tidak disyariatkan azan dan iqomat pada wanita selain beliau, sehingga kebolehan mengimami tersebut khusus baginya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan untuknya azan dan iqamat dan tidak untuk wanita lainnya. (Lihat Al Mughni karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki dan Abdul Fatah Al Halwu, cetakan kedua tahun 1412, penerbit Hajar, Kairo, Mesir hal. 3/ 34).
Jadi pernyataan mereka di atas sangat berlebihan, itu semua tidak lain karena hadits ini sesuai dengan hawa nafsu dan keinginan mereka, sehingga mereka katakan, Hadits ini lebih shohih daripada hadits pertama tersebut dari sisi sanad, apalagi matan.
Setelah itu mereka pun mendapatkan adanya ulama yang mendukung pendapat mereka, lalu tentu saja mereka langsung memuji-mujinya dengan berlebihan agar tampak benar dan kuat argumen mereka, sehingga mereka menyatakan bahwa “perlu diingat di sini, Ibnu Jarir At Thobari juga seorang mujtahid besar yang kebesarannya sama dengan madzhab fikih empat lainnya.” Subhanallah, satu pujian yang sangat tinggi, namun tampaknya ada sesuatu di balik pujian yang tinggi ini, yaitu agar pendapat tersebut juga diakui sebagai pendapat yang kuat. Namun sebenarnya pendapat ulama tersebut tertuju pada sholat berjamaah biasa di rumahnya, bukan untuk sholat Jumat yang tentunya berbeda, karena ada khutbah dan bilangan jamaah yang banyak.
Jadi walaupun mereka paksakan juga hal ini tetap tidak pas, apalagi bila melihat kepada pendapat mayoritas ulama yang melarang dan menyatakan tidak sahnya. Namun sayang hawa nafsu dan suguhan program persamaan gender membuat mereka berusaha mengakal-akali semua ini. Di antaranya tidak membawakan semua dalil yang digunakan mayoritas ulama memutuskan larangan tersebut dan hanya membawakan salah satunya saja, itu pun dipilihkan yang lemah, lalu serta merta menuduh para ulama yang tidak cocok dengan mereka telah menerima sedemikian rupa tanpa melakukan analisis kritis terhadap matan atau isi haditsnya.
Sebagiannya menuduh dengan menyatakan, “Uniknya, sisi lemah hadits yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam itu pun tidak kita ketahui.” Padahal para ulama sejak dulu telah menjelaskannya, di antaranya Imam Al Baihaqi, Nawawi (lihat Al Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab 4/255) dan Ibnu Hajar (lihat At Talkhish Al Habier 2/22).
Sebenarnya bila mereka ini melakukan penelitian ilmiah tentang masalah ini dengan hati dan pikiran yang jernih, tentulah akan membawakan dalil-dalil yang shohih dan tegas yang digunakan mayoritas ulama dalam memutuskan pelarangan ini, sehingga jelas tentunya akan membuat orang yang membaca atau mendengar akan memilih pendapat yang melarang dan menyelisihi mereka. Ini tidak mereka inginkan. Tampaknya mereka berharap dengan disebutkan dalil yang lemah tersebut (hadits Jabir di atas) akan dapat membuat opini masyarakat tidak menyalahkan mereka bahkan mendukung program mereka merusak ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama Islam ini.
Oleh sebab itu, untuk menjelaskan permasalahan ini lebih jelas, maka kami bawakan dalil-dalil wahyu dan dalil akal serta itstimbat (pendalilan) pendapat yang melarang wanita menjadi iman laki-laki dalam sholat. Di antara dalil-dalil pendapat ini adalah:
Pertama, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ زَارَ قَوْمًا فَلَا يَؤُمَّهُمْ وَلْيَؤُمَّهُمْ رَجُلٌ مِنْهُمْ رواه أبو داود و الترمذي و صححه الألباني
“Barang siapa yang mengunjungi satu kaum, maka janganlah ia mengimami mereka sholat dan hendaklah seorang laki-laki dari mereka yang mengimami mereka.” (HR. Abu Daud kitab Sholat Bab Imamat Al Zaa’ir no. 596 dan At Tirmidzi dalam kitab As Sholat bab Ma Ja’a Fiman Zaara Qauman Laa Yusholli Bihim no. 356. hadits ini dishohihkan Al Albani dalam Shohih Al Tirmidzi)
Dalam hadits ini Rasululloh mengkhusukan penyebutan kata ‘Laki-laki’ dan ini menunjukkan bahwa wanita tidak punya hak dalam mengimami kaum laki-laki.
Kedua, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ رواه مسلم
“Hendaklah yang mengimami sholat satu kaum adalah yang paling banyak hafalan Al Qur’annya, jika mereka dalam hafalan sama banyaknya, maka dahulukan orang yang paling tahu sunah Rasulullah. Jika mereka juga sama dalam sunah maka dahulukan yang lebih dahulu berhijrah dan bila sama maka dahulukan yang lebih dahulu masuk islam dan janganlah seorang laki-laki mengimami sholat seorang laki-laki lainnya di tempat kekuasaannya.” (HR. Muslim, Kitab Al Masaajid, Bab Man Ahaqqa Bil Imamah 5/172 dengan Al Minhaj Syarh Sholih Muslim bin Al Hajjaj)
Demikian juga dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan kaum laki-laki ketika berbicara tentang tingkatan hak menjadi imam dalam sholat dan tidak sama sekali memberikan bagian untuk kaum wanita mengimami laki-laki.
Ketiga, sabda Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً رواه البخاري
“Tidaklah beruntung satu kaum yang mengangkat pemimpinnya seorang wanita.” (HR. Al Bukhori, Kitab Al Maghozi, Bab Kitab Al Nabi Ila Kisra wa Qaishar no. 4425)
Bila seorang wanita diangkat menjadi imam sholat, itu sama saja menyerahkan kepemimpinan kepadanya, padahal perkara sholat termasuk perkara agama yang terpenting, kalau tidak yang paling penting setelah syahadatain. Oleh Karena itu Rasulullah sendiri mengambil kepemimpinan sholat karena pentingnya masalah ini, kemudian menunjuk Abu Bakar menggantikannya ketika beliau sakit keras. Dengan demikian tidak boleh seorang wanita menjadi imam sholat jamaah laki-laki Karena keumuman hadits di atas.
Keempat, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baiknya barisan kaum laki-laki adalah yang terdepan dan yang terjelek adalah yang paling akhir sedangkan sebaik-baiknya shof (baridan) wanita adalah yang paling akhir dan yang terjelek adalah yang terdepan.” (HR. Muslim 326/1 dan Abu Dawud 678 dan at-Turmudzi 437/1 dan Ibnu Majah 319/1 dan An Nasai 93/2 dan Ahmad 485 : 247/2)
Hadits ini menunjukkan bahwa wanita tempatnya di belakang shof (barisan) laki-laki, sedangkan Imam harus berada di depan semua barisan. Seandainya kita menganggap benarnya pendapat yang mengabsahkan keimaman mereka dalam sholat, tentulah kita harus membaliknya menjadikannya di depan barisan kaum laki-laki dan ini jelas-jelas menyelisihi syariat Islam.
Kelima, Imam Bukhori meriwayatkan bahwa:
وَكَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنْ الْمُصْحَفِ
“Dzakwan pernah mengimami A’isyah dengan membaca mushaf.” (Lihat Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, tahqiq Kholid bin Ali Al Musyaiqih, cetakan kedua tahun 1416 H penerbit Muassasah Aasaan, KSA. Hal. 4/313).
Aisyah jelas lebih utama dan lebih faqih serta lebih hafal Al Quran, namun mendahulukan Dzakwan yang membaca mushhaf ketika menjadi imam. Tentunya hal ini menunjukkan ketidakbolehan wanita menjadi imam kaum laki-laki dalam sholat.
Keenam, wanita tidak berazan untuk laki-laki sehingga juga tidak berhak menjadi imam. (Al Mughni hal. 3/33).
Ketujuh, para wanita yang dibina dan berada dalam naungan Nabi di rumahnya tidak pernah dinukilkan ada yang mengimami laki-laki walaupun untuk para mahramnya.
Kedelapan, tugas imamah dalam sholat termasuk wewenang penting yang tidak boleh dilalaikan karena memiliki hubungan erat sekali dengan keabsahan sholat yang merupakan tanda kebaikan umat dan wanita tentunya tidak memegangnya sebab mereka itu kurang agama dan akalnya, sebagaimana dinyatakan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kesembilan, wanita yang menjadi imam mesti akan bolos tidak sholat setiap bulannya karena haidh atau nifas, sehingga akan menelantarkan jamaah yang ada.
Kesepuluh, kelemahan hadits Ummu Waraqah dan tidak pernah dinukil adanya seorang wanita yang menjadi imam sholat Jumat di zaman terdahulu. Ini menunjukkan bahwa ini perkara baru dalam agama. Padahal kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berhati-hatilah dari perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru adalah bid’ah.”
Kesimpulannya
Apa yang dilakukan wanita Amerika tersebut jelas menyelisihi syariat dan upaya JIL (baca= Jaringan Iblis Liberal) mendukung dan mencoba memasyarakatkannya merupakan upaya menghancurkan syariat Islam dan mengaburkannya, oleh sebab itu menjadi kewajiban kita semua untuk menjelaskan kepada masyarakat kesesatan pendapat ini. Demikian sekelumit ulasan tentang masalah ini, mudah-mudahan yang sedikit ini dapat membuka cakrawala berpikir kaum muslimin dan dapat bermanfaat bagi kita semua. Amien.
Penulis: Ustadz Kholid SyamhudiSumber: www.muslim.or.id