TOKYO – Komunitas Muslim di Jepang mungkin memiliki profil yang rendah tapi terus berkembang seiring dengan perjuangan kaum Muslim dalam mengatasi semua kesulitan yang mereka hadapi untuk beradaptasi dengan kehidupan di negara raksasa Asia itu.
"Saya percaya bahwa minat pada Islam secara umum meningkat," ujar Hirofumi Tanada, profesor ilmu manusia di Universitas Waseda di Tokyo, kepada Japan Times, Minggu (14/11).
Islam masuk ke Jepang tahun 1920an melalui imigrasi beberapa ratus Muslim Turki dari Rusia menyusul evolusi bekas negara Soviet itu.
Tahun 1930an, kaum Muslim mencapai jumlah 1,000 jiwa dari berbagai negara asal.
Gelombang migran lain yang mendorong populasi Muslim mencapai puncaknya di tahun 1980an, bersama dengan pekerja migran dari Iran, Pakistan, dan Bangladesh.
Jepang sekarang menjadi rumah bagi komunitas Muslim yang berjumlah 120,000 jiwa, dari total populasi negara sebesar 127 juta.
Tanada mengatakan beberapa faktor seperti pertukaran pelajar, wirausahawan dan mereka yang memiliki karir profesional bertanggung jawab untuk meningkatnya populasi Muslim.
"Ada banyak Muslim yang telah menikah dan tinggal di Jepang bersama keluarga mereka, dan mereka ingin memperdalam pertukaran dengan komunitas mereka," ujar profesor Tanada.
Juga ada peningkatan dalam jumlah mualaf Jepang, yang saat ini sekitar 10,000 jiwa di antara komunitas Muslim.
Banyak wanita Jepang yang masuk Islam setelah menikah dengan pria Muslim.
Dan saat jumlah Muslim meningkat, begitu juga dengan layanan yang memenuhi kebutuhan mereka.
Penyedia makanan halal tersebar di seluruh ibukota Tokyo.
Ada sekitar 60 Masjid dan lebih dari 100 musholla di seluruh penjuru Jepang.
Meskipun warga Muslim memiliki kesulitan untuk menunaikan sholat lima waktu di Masjid, mereka berkumpul dalam jumlah besar untuk sholat Jumat.
Tokyo Camii, yang juga dikenal sebagai Masjid Tokyo, salah satu Masjid tertua di Jepang menerima 400 sampai 500 Muslim saat ini, kebanyakan berasal dari Pakistan, Malaysia, dan Indonesia.
Tapi, kehidupan di Jepang tidak selalu indah bagi kaum Muslim.
Ehsan Bai, seorang Muslim yang sudah tinggal di negara itu selama 16 tahun, bisa beradaptasi dengan masyarakat Jepang, tapi istri dan anak-anaknya mengalami beberapa kesulitan.
"Saya berharap anak-anak Jepang dan orangtua mereka bisa menerima bahwa ada berbagai jenis orang yang berbeda," ujar istrinya.
Terdapat juga hambatan yang dia hadapi seperti misalnya makanan halal yang tidak selalu ada, terutama ketika dia sedang terburu-buru.
Dia menyadari bahkan di sekolah anak-anaknya tidak banyak perhatian yang diberikan untuk mengakomodasi kebutuhan kaum Muslim.
"Misalnya, jika kau melihat dengan seksama ke bungkus ‘sembei’ (biskuit beras), mereka memasukkan ekstrak sup ayam, yang mungkin bukan makanan halal," ujarnya. (rin/oi) www.suaramedia.com
Tahun 1930an, kaum Muslim mencapai jumlah 1,000 jiwa dari berbagai negara asal.
Gelombang migran lain yang mendorong populasi Muslim mencapai puncaknya di tahun 1980an, bersama dengan pekerja migran dari Iran, Pakistan, dan Bangladesh.
Jepang sekarang menjadi rumah bagi komunitas Muslim yang berjumlah 120,000 jiwa, dari total populasi negara sebesar 127 juta.
Tanada mengatakan beberapa faktor seperti pertukaran pelajar, wirausahawan dan mereka yang memiliki karir profesional bertanggung jawab untuk meningkatnya populasi Muslim.
"Ada banyak Muslim yang telah menikah dan tinggal di Jepang bersama keluarga mereka, dan mereka ingin memperdalam pertukaran dengan komunitas mereka," ujar profesor Tanada.
Juga ada peningkatan dalam jumlah mualaf Jepang, yang saat ini sekitar 10,000 jiwa di antara komunitas Muslim.
Banyak wanita Jepang yang masuk Islam setelah menikah dengan pria Muslim.
Dan saat jumlah Muslim meningkat, begitu juga dengan layanan yang memenuhi kebutuhan mereka.
Penyedia makanan halal tersebar di seluruh ibukota Tokyo.
Ada sekitar 60 Masjid dan lebih dari 100 musholla di seluruh penjuru Jepang.
Meskipun warga Muslim memiliki kesulitan untuk menunaikan sholat lima waktu di Masjid, mereka berkumpul dalam jumlah besar untuk sholat Jumat.
Tokyo Camii, yang juga dikenal sebagai Masjid Tokyo, salah satu Masjid tertua di Jepang menerima 400 sampai 500 Muslim saat ini, kebanyakan berasal dari Pakistan, Malaysia, dan Indonesia.
Tapi, kehidupan di Jepang tidak selalu indah bagi kaum Muslim.
Ehsan Bai, seorang Muslim yang sudah tinggal di negara itu selama 16 tahun, bisa beradaptasi dengan masyarakat Jepang, tapi istri dan anak-anaknya mengalami beberapa kesulitan.
"Saya berharap anak-anak Jepang dan orangtua mereka bisa menerima bahwa ada berbagai jenis orang yang berbeda," ujar istrinya.
Terdapat juga hambatan yang dia hadapi seperti misalnya makanan halal yang tidak selalu ada, terutama ketika dia sedang terburu-buru.
Dia menyadari bahkan di sekolah anak-anaknya tidak banyak perhatian yang diberikan untuk mengakomodasi kebutuhan kaum Muslim.
"Misalnya, jika kau melihat dengan seksama ke bungkus ‘sembei’ (biskuit beras), mereka memasukkan ekstrak sup ayam, yang mungkin bukan makanan halal," ujarnya. (rin/oi) www.suaramedia.com