Kapolri Jenderal Timur Pradopo menyatakan,
tidak tertutup kemungkinan aturan yang ditetapkan oleh pimpinan di
kepolisian diubah.
Pernyataan tersebut menyusul desakan untuk melonggarkan aturan yang membatasi penggunaan jilbab di kalangan polisi wanita (polwan).
Menurut Kapolri, semua aturan yang berlaku di Polri dapat berubah sesuai dengan dinamika sosial. Termasuk, mengenai aturan pengunaan seragam yang ditentukan bagi setiap anggotanya.
Hal ini ia sampaikan di sela-sela acara serah terima jabatan (sertijab) sejumlah pejabat kapolda di Mabes Polri, Rabu (13/6). Timur menegaskan, semua aturan yang ditetapkan oleh Kapolri diupayakan merangkul semua kepentingan dari setiap anggotanya.
Sebagai institusi, Polri juga merupakan lembaga terbuka bagi semua aspirasi anggotanya. “Begitu juga dengan aspirasi sejumlah polwan yang ingin berjilbab,” ujar Kapolri.
Ia menegaskan, sejatinya kepolisian tak melarang polwan berjilbab. Meski demikian, memang belum ada aturan jelas soal penggunaan jilbab.
Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Agus Rianto menjelaskan, peraturan seragam saat ini juga merupakan revisi. Peraturan Kapolri No Pol: Skep/702/IX/2005 yang kini berlaku, menurutnya, menyusul kewajiban berjilbab bagi polwan Muslim di Aceh yang terbit pada 2004.
Melalui peraturan itu, Polri menegaskan bahwa pengenaan jilbab bukan termasuk seragam bagi polwan di luar Aceh. Intinya, kata Agus, surat itu justru membuktikan Polri tak menutup pintu perubahan aturan. “Angka 702 dalam skep itu, kan adalah lambang adanya revisi dalam aturan tersebut, jadi ya kami terbuka,” kata Agus.
Namun, ketika ditanya apakah polwan berhak mengirimkan langsung surat kepada Kapolri agar permintaanya terkait jilbab dapat dikabulkan, Agus berujar biar semuanya diserahkan kepada pimpinan Polri. Dia mengatakan, tentu semua yang dirasakan anggotanya akan ditampung oleh Polri selama perasaan itu tampak nyata terjadi.
Ia menegaskan, sebelum ada peraturan baru, para polwan mesti menunda keinginan berjilbab. “Kira-kira demikian yang ingin pimpinan Polri sampaikan. Mohon menjadi pesan juga (untuk polwan) selama belum ada perubahan. laksanakan dulu yang ada,” kata Agus.
Pernyataan Polri kali ini menjawab tekanan masyarakat Muslim dan keinginan sejumlah polwan yang menuntut pelonggaran pembatasan jilbab untuk polwan. Sebelumnya, beberapa kali Polri mengatakan, penggunaan jilbab tidak sesuai aturan sehingga belum diperkenankan, bahkan bagi yang nekat berhijab akan dikategorikan sebagai pelanggar.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin mengecam aturan yang membatasi polwan untuk berjilbab. “Itu adalah kebijakan yang tidak bijak,” ujarnya. Din menanggapi aturan Polri soal seragam yang menutup celah penggunaan jilbab oleh polwan.
Menurut Din, kebijakan yang melarang polwan berjilbab melanggar konstitusi. Ia menegaskan, pada UUD 1945 Pasal 29 negara menjamin hak-hak warga negaranya dalam menjalankan ibadah sesuai agama yang dipeluknya.
Pemakaian jilbab, kata Din, merupakan ibadah karena itu merupakan salah satu pelaksanaan dalam syariat Islam bagi perempuan. Jika seorang Muslimah ingin mengenakan jilbab, menurutnya, tidak boleh ada yang melarang.
Aparatur negara, seperti kepolisian, harus bisa memberikan dispensasi melalui ketentuan umum. “Jika itu bisa dilaksanakan, berarti kepolisian bisa menjalankan amar dari konstitusi,” ujarnya. Petugas polwan yang ingin memakai jilbab, kata Din, harus dihormati, dihargai, dan tidak dianggap sebagai pelanggaran.[ROL/im]Islamedia
Pernyataan tersebut menyusul desakan untuk melonggarkan aturan yang membatasi penggunaan jilbab di kalangan polisi wanita (polwan).
Menurut Kapolri, semua aturan yang berlaku di Polri dapat berubah sesuai dengan dinamika sosial. Termasuk, mengenai aturan pengunaan seragam yang ditentukan bagi setiap anggotanya.
Hal ini ia sampaikan di sela-sela acara serah terima jabatan (sertijab) sejumlah pejabat kapolda di Mabes Polri, Rabu (13/6). Timur menegaskan, semua aturan yang ditetapkan oleh Kapolri diupayakan merangkul semua kepentingan dari setiap anggotanya.
Sebagai institusi, Polri juga merupakan lembaga terbuka bagi semua aspirasi anggotanya. “Begitu juga dengan aspirasi sejumlah polwan yang ingin berjilbab,” ujar Kapolri.
Ia menegaskan, sejatinya kepolisian tak melarang polwan berjilbab. Meski demikian, memang belum ada aturan jelas soal penggunaan jilbab.
Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Agus Rianto menjelaskan, peraturan seragam saat ini juga merupakan revisi. Peraturan Kapolri No Pol: Skep/702/IX/2005 yang kini berlaku, menurutnya, menyusul kewajiban berjilbab bagi polwan Muslim di Aceh yang terbit pada 2004.
Melalui peraturan itu, Polri menegaskan bahwa pengenaan jilbab bukan termasuk seragam bagi polwan di luar Aceh. Intinya, kata Agus, surat itu justru membuktikan Polri tak menutup pintu perubahan aturan. “Angka 702 dalam skep itu, kan adalah lambang adanya revisi dalam aturan tersebut, jadi ya kami terbuka,” kata Agus.
Namun, ketika ditanya apakah polwan berhak mengirimkan langsung surat kepada Kapolri agar permintaanya terkait jilbab dapat dikabulkan, Agus berujar biar semuanya diserahkan kepada pimpinan Polri. Dia mengatakan, tentu semua yang dirasakan anggotanya akan ditampung oleh Polri selama perasaan itu tampak nyata terjadi.
Ia menegaskan, sebelum ada peraturan baru, para polwan mesti menunda keinginan berjilbab. “Kira-kira demikian yang ingin pimpinan Polri sampaikan. Mohon menjadi pesan juga (untuk polwan) selama belum ada perubahan. laksanakan dulu yang ada,” kata Agus.
Pernyataan Polri kali ini menjawab tekanan masyarakat Muslim dan keinginan sejumlah polwan yang menuntut pelonggaran pembatasan jilbab untuk polwan. Sebelumnya, beberapa kali Polri mengatakan, penggunaan jilbab tidak sesuai aturan sehingga belum diperkenankan, bahkan bagi yang nekat berhijab akan dikategorikan sebagai pelanggar.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin mengecam aturan yang membatasi polwan untuk berjilbab. “Itu adalah kebijakan yang tidak bijak,” ujarnya. Din menanggapi aturan Polri soal seragam yang menutup celah penggunaan jilbab oleh polwan.
Menurut Din, kebijakan yang melarang polwan berjilbab melanggar konstitusi. Ia menegaskan, pada UUD 1945 Pasal 29 negara menjamin hak-hak warga negaranya dalam menjalankan ibadah sesuai agama yang dipeluknya.
Pemakaian jilbab, kata Din, merupakan ibadah karena itu merupakan salah satu pelaksanaan dalam syariat Islam bagi perempuan. Jika seorang Muslimah ingin mengenakan jilbab, menurutnya, tidak boleh ada yang melarang.
Aparatur negara, seperti kepolisian, harus bisa memberikan dispensasi melalui ketentuan umum. “Jika itu bisa dilaksanakan, berarti kepolisian bisa menjalankan amar dari konstitusi,” ujarnya. Petugas polwan yang ingin memakai jilbab, kata Din, harus dihormati, dihargai, dan tidak dianggap sebagai pelanggaran.[ROL/im]Islamedia