Salah satu penyimpangan mendasar yang menjangkiti umat Islam ketika tenggelam dalam kubangan Perang Salib adalah kerancuan dalam memandang harta. Mereka tidak mengerti hikmah paling mendasar dari harta dan tidak mengetahui prioritas penggunaan harta sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi masyarakat. Penyakit ini tidak hanya menjangkiti kaum kaya yang bergelimang harta, tetapi juga menjangkiti masyarakat miskin yang sama pula melencengnya dalam memandang harta. Itulah yang kemudian membuat Imam Al Ghazaliy mendaftar hal ini ke dalam lembar penyakit dalam diagnosanya ketika menyelami umat kala itu.
Dalam buku langka berjudul Hakadza Zhahara Jillu Shalahuddin wa Hakdza ‘Adad Al Quds, Dr. Majid ‘Irsan Al Kilani mengutip pandangan-pandangan Imam pioner gerakan Islah ini. Tujuan manusia diciptakan adalah untuk menyembah dan mengenalNya, dia melintasi kehidupan dunia menuju akhirat yang merupakan tempat tinggal yang terakhir. Untuk itu dia harus menyikapi kehidupan dunia sesuai dengan tujuan tersebut.
Manusia harus membekali diri dengan benda-benda yang ada di dunia sebagaimana musafir menyiapkan bekalnya, sehingga dia hanya mengambil secukupnya sebagai bekal perjalanan menuju akhirat. Dia ibarat orang yang mau pergi ibadah haji dan mempersiapkan untanya, di sibuk memberinya makan, membersihkan dan menutupi tubuhnya dengan kain yang indah, memberinya minum dan menjaganya sesuai dengan kadar kebutuhannya terhadap unta tersebut. Benda-benda yang ada di dunia ini tidak diciptakan melainkan hanya “untuk memberi makan kepada hewan tunggangan yang akan membawanya dalam perjalanan menuju Allah Ta’ala. Maksud hewan tunggangan di sini adalah tubuh (manusia) yang tidak mungkin dapat bertahan lama tanpa makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal, sebagaimana unta yang tidak mungkin sanggup menempuh perjalanan haji jika tidak diberi makanan, air, dan rumput.”
Manusia pada umumnya lupa dengan tujuan utama sehingga berhenti pada tahap persiapan saja. Akibatnya, dia seperti orang yang berangkat untuk melaksanakan haji lalu berhenti di salah satu peristirahatandan sibuk mengurus untanya seperti memberi makan, membersihkan, mengatur pakaian dan memberi minum sampai lupa bahwa rombongan telah berangkat meninggalkannya, sehingga dia dan untanya menjadi sasaran empuk binatang buas.
Hanya ada satu kelompok yang selamat dalam memandang dunia ini. Yakni kelompok yang mengikuti jejak Rasulullah Saw. dan para Sahabat. Jejak yang dimaksud adalah tidak mengingkari dunia secara total dan tidak menahan nafsunya secara total. Ia mengambil dari dunia sebatas bekal yang diperlukannya dan menahan nafsu yang melanggar batas ketaatan kepada syari’at dan logika, ia tidak mengikuti semua bentuk nafsu dan tidak pula meninggalkan seluruhnya melainkan mengikuti nafsu yang benar. Ia tidak meninggalkan urusan dunia dan tidak pula mencari seluruh urusan dunia melainkan tahu tujuan penciptaan setiap urusan dunia dan tidak keluar dari batas tujuannya.
Untuk itu, ia mengkonsumsi makanan sebatas yang diperlukan untuk memperkuat tubuh sehingga mampu beribadah, ia membuat tempat tinggal sebatas keperluannya untuk menjaga diri dari ancaman perampok dan melindunginya dari panas dan dingin, demikian pula dengan pakaian. Kemudian ketika hati tidak lagi sibuk dengan tubuh maka ia menghadap Allah dengan penuh semangat dan sibuk berzikir dan berpikir sepanjang umurnya. Ia tetap menjaga batas kesederhanaan dan keseimbangan nafsu agar tidak melanggar batas wara’ dan takwa.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang keseimbangan ini maka harus mengikuti jejak kelompok yang selamat (al Firqah an Najiyah) yaitu para Sahabat. Mereka hidup dengan pola yang lurus dan seimbang, tidak mengambil dunia untuk kepentingan dunia melainkan untuk kepentingan agama dan tidak mengingkari atau menjauhi dunia secara total. Mereka tidak memiliki pola hidup yang mengabaikan (tafrith) atau berlebihan (ifrath) melainkan hidup dengan pola sederhana dan seimbang yang sangat disukai oleh Allah Swt. (esqiel/muslimahzone.com)