Ini bukan kali pertama Ratu Sepilis Musdah Mulia melontarkan argumen ngawur. Jilbab, menurut pejuang hak-hak asasi kaum homo dan lesbian ini, bukanlah merupakan kewajiban, melainkan pilihan.
Pendapat itu terungkap dalam talkshow dan bedah buku berjudul “Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas Jilbab)” di sebuah kampus di Jakarta, beberapa waktu lalu. Buku yang ditulis oleh Juneman, alumnus Fakultas Psikologi UPI YAI, dibedah oleh Siti Musdah Mulia, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Banten dan Bonar Hutapea.
Juneman selaku penulis buku merasa pengamatannya telah memenuhi unsur ilmiah. Ia menyoroti perempuan yang melepas kembali jilbabnya (setelah sebelumnya mengenakan jilbab) dari perspektif psikososial filosofis dan didukung oleh teori-tori psikologi kontemporer.
Faktanya, apanya yang ilmiah? Penelitian itu tak lebih, hanya didasari oleh rasa sentimen yang berlebihan alias lebay. Kasus perempuan melepas jilbab yang bersumber dari pengakuan Tari, Intan, Wina dan Lanni (dalam buku tersebut) adalah pemilihan narasumber yang subjektif, mengikuti selera penulis, yang digiring untuk menguatkan propaganda sepilisnya. Tak heran bila, pengakuan wanita bermasalah itu kemudian menjadi dalih untuk menyalahkan jilbab, bukan mencari akar permasalahan psikologi perempuan bersangkutan. Jilbab pun dikambinghitamkan.
Seperti diketahui, jumlah perempuan berjilbab di Indonesia kian meningkat dari hari ke hari. Puncaknya terjadi pada pertengahan tahun 1990-an. Namun peningkatan itu bukannya malah disyukuri, tapi disikapi dengan sinis. Seolah fenomena jilbab tak lebih atas dorongan psikologis, modis, politis dan aturan (perda).
Geliat perempuan berjilbab itulah yang menjadi keresahan “Ratu Sepilis” Siti Musdah Muliah yang begitu su’udzon dengan fenomena itu dengan memberondong sejumlah pertanyaan sinis: apakah perempuan berjilbab kemudian tingkat keberagamaannya juga mengalami peningkatan? Apakah perempuan yang melepas jilbab atau tidak berjilbab, tidak lebih religius ketimbang perempuan berjilbab? “Tak sedikit perempuan berjilbab menjadi korban perkosaan,” ujar Musdah sinis.
Mencela Jilbab
Menurut Profesor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, realitas sosiologis di masyarakat, jilbab tidak menyimbolkan apa-apa, tidak menjadi lambang kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan shalehah, atau sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang.
“Tidaklah keliru jika dikatakan bahwa jilbab dan batas aurat perempuan merupakan masalah khilafiyah yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Mengenakan, tidak mengenakan, atau menanggalkan jilbab sesungguhnya merupakan pilihan, apapun alasannya. Yang paling bijak adalah menghargai dan menghormati pilihan setiap orang, tanpa perlu menghakimi sebagai benar atau salah terhadap setiap pilihan,” kilah perempuan pengagum Gus Dur.
Musdah juga mengemukakan kesimpulan dari Forum Pengkajian Islam UIN Sharif Hidayatullah tahun 1998: “Hukum Islam tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup, tetapi menyerahkan hal itu kepada masing-masing orang sesuai situasi, kondisi dan kebutuhan.”
“Kalau begitu, jelas bahwa menggunakan jilbab tidak menjadi keharusan bagi perempuan Islam, tetapi bisa dianggap sebagai cerminan sikap kehati-hatian dalam melaksanakan tuntutan Islam. Kita perlu membangun sikap apresiasi terhadap perempuan yang atas kerelaannya sendiri memakai jilbab, sebalinya juga menghargai mereka yang dengan pilihan bebasnya melenas atau membuka kembali jilbabnya. Termasuk mengapresiasi mereka yang sama sekali tidak tertarik memakai jilbab.
Inilah kampanye kemungkaran yang didengungkan “Ratu Sepilis” Musdah Mulia (Sang Pembela hak-hak asasi kaum homo dan lesbian) di kampus-kampus yang harus dilawan. Dalam Islam, jilbab apapun yang menutup aurat perempuan, sesuai yang ditentukan syariat adalah kewajiban yang harus dipatuhi. Soal perempuan yang belum berjilbab, umat Islam tidak pernah mencela, apalagi menuduh sebagai wanita yang tidak baik.
Bagi Muslimah yang melepas jilbabnya, hendaknya didiagnosa problema psikologi perempuan yang bersangkutan, bukan mengambinghitamkan jilbab. Mereka yang melepas jilbabnya, bisa saja akibat frustasi dengan persoalan hidup yang dihadapi, atau takut sulit mendapat pekerjaan. Sebaiknya, Ratu Sepilis itu tidak bersu’udzan soal perempuan berjilbab, juga tak perlu menilai moralitas mereka.
Plintir Ayat
Menurut Ratu Sepilis (sekularisme, pluralisme dan libealisme) Musdah Mulia, ada banyak alasan mengapa perempuan berjilbab.
Sebagian beralasan memakai jilbab karena dipaksakan oleh aturan Perda tentang keharusan berjilbab. Sebagian lagi karena alasan psikologis, tidak merasa nyaman karena semua orang di lingkungannya memakai jilbab. Ada lagi karena alasan modis, agar tampak lebih cantik dan trendi, sebagai respon terhadap tantangan dunia model. “Ada juga berjilbab karena alasan politis, yaitu memenuhi tuntutan kelompok Islam tertentu yang cenderung mengedepankan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik,” ungkap Musdah, yang anti syariat Islam ini enteng.
Jelas, Musdah berhasrat untuk membuat keraguan perempuan yang telah berjilbab dengan mengatakan, pandangan para ulama tidak tunggal tentang busana perempuan dalam Islam, tetapi sangat beragam. Ijtihad para ulama, katanya, bisa salah, bisa juga benar. “Perempuan boleh memilih pakaian yang disukainya, sesuai adab kesopanan yang umum berlaku dalam masyarakat. Rambut kepala bukanlah aurat, sehingga tidak perlu ditutupi,” ujarnya.
Musdah dengan lugas menentang ayat-ayat Al Qur’an soal jilbab, terutama surah Al-Ahzab (32,33, 55) dan an-Nur (30,31,60). Hadits riwayat Aisyah dan Abu Daud yang banyak dijadikan rujukan, dikatakan sebagai hadits ahad, bukan hadits mutawatir. Intinya, hadits ahad dianggap tidak kuat menjadi landasan hukum.
“Jika teks-teks tentang jilbab tersebut dibaca dalam konteks sekarang, terlihat bahwa perempuan tidak perlu lagi memakai jilbab hanya sekadar agar mereka dikenali, atau mereka dibedakan dari perempuan yang berstatus budak, atau agar mereka tidak diganggu laki-laki jahat. Di masa sekarang, tidak ada lagi perbudakan, dan busana bukan ukuran untuk menetapkan identitas seseorang,” tandasnya nyeleneh.
Lebih lanjut, Ratu Sepilis itu mengatakan, dewasa ini banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat perempuan terhormat dan disegani, misalnya dengan meningkatkan kualitas pendidikan, memberdayakan mereka dengan skill dan ketrampilan, memenuhi hak-hak asasi mereka, khususnya hak-hak reproduksi perempuan. Ajaran Islam menghendaki para perempuan tetap terjaga moralitasnya, meskipun tidak menggunakan simbol-simbol seperti jilbab dan lainnya,” ungkap Musdah ngawur.
Mengaku demokratis, tapi dengan sewotnya Musdah menuduh perempuan berjilbab sebagai pamer. “Perempuan beriman tentu secara sadar akan memilih busana sederhana dan tidak berlebih-lebihan sehingga menimbulkan perhatian publik, dan yang pasti juga tidak untuk pamer (riya).”
Asbab nuzul ayat-ayat tentang perintah jilbab disimpulkan Musdah, bahwa jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya ketimbang ajaran agama. Sebab, jika jilbab memang diterapkan untuk perlindungan atau meningkatkan prestige kaum perempuan beriman, maka dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi.
“Memakai jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan Islam. Itu hanyalah ketentuan Al Qur’an bagi para istri dan anak-anak perempuan Nabi. Jika perlindungan itu tidak dibutuhkan lagi karena sistem keamanan yang sudah sedemikian maju dan terjamin, tentu perempuan dapat memilih secara cerdas dan bebas apakah ia masih mau mengenakan jilbab atau tidak.”
Saatnya menolak proyek kaum sepilis di kampus-kampus untuk mengagendakan mahasiswi menanggalkan jilbabnya. Berkampanye melepas jilbab di kampus-kampus adalah proyek baru pengusung sekularisme. Meningkatnya perempuan Muslimah berjilbab, tak membuat “Ratu Sepilis” Siti Musdah Mulia berbangga hati. Menurutnya, jilbab bukanlah kewajiban, melainkan pilihan. Jilbab pun dikambinghitamkan. [Desastian]/voa-islam
Faktanya, apanya yang ilmiah? Penelitian itu tak lebih, hanya didasari oleh rasa sentimen yang berlebihan alias lebay. Kasus perempuan melepas jilbab yang bersumber dari pengakuan Tari, Intan, Wina dan Lanni (dalam buku tersebut) adalah pemilihan narasumber yang subjektif, mengikuti selera penulis, yang digiring untuk menguatkan propaganda sepilisnya. Tak heran bila, pengakuan wanita bermasalah itu kemudian menjadi dalih untuk menyalahkan jilbab, bukan mencari akar permasalahan psikologi perempuan bersangkutan. Jilbab pun dikambinghitamkan.
Seperti diketahui, jumlah perempuan berjilbab di Indonesia kian meningkat dari hari ke hari. Puncaknya terjadi pada pertengahan tahun 1990-an. Namun peningkatan itu bukannya malah disyukuri, tapi disikapi dengan sinis. Seolah fenomena jilbab tak lebih atas dorongan psikologis, modis, politis dan aturan (perda).
Geliat perempuan berjilbab itulah yang menjadi keresahan “Ratu Sepilis” Siti Musdah Muliah yang begitu su’udzon dengan fenomena itu dengan memberondong sejumlah pertanyaan sinis: apakah perempuan berjilbab kemudian tingkat keberagamaannya juga mengalami peningkatan? Apakah perempuan yang melepas jilbab atau tidak berjilbab, tidak lebih religius ketimbang perempuan berjilbab? “Tak sedikit perempuan berjilbab menjadi korban perkosaan,” ujar Musdah sinis.
Mencela Jilbab
Menurut Profesor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, realitas sosiologis di masyarakat, jilbab tidak menyimbolkan apa-apa, tidak menjadi lambang kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan shalehah, atau sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang.
“Tidaklah keliru jika dikatakan bahwa jilbab dan batas aurat perempuan merupakan masalah khilafiyah yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Mengenakan, tidak mengenakan, atau menanggalkan jilbab sesungguhnya merupakan pilihan, apapun alasannya. Yang paling bijak adalah menghargai dan menghormati pilihan setiap orang, tanpa perlu menghakimi sebagai benar atau salah terhadap setiap pilihan,” kilah perempuan pengagum Gus Dur.
Musdah juga mengemukakan kesimpulan dari Forum Pengkajian Islam UIN Sharif Hidayatullah tahun 1998: “Hukum Islam tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup, tetapi menyerahkan hal itu kepada masing-masing orang sesuai situasi, kondisi dan kebutuhan.”
“Kalau begitu, jelas bahwa menggunakan jilbab tidak menjadi keharusan bagi perempuan Islam, tetapi bisa dianggap sebagai cerminan sikap kehati-hatian dalam melaksanakan tuntutan Islam. Kita perlu membangun sikap apresiasi terhadap perempuan yang atas kerelaannya sendiri memakai jilbab, sebalinya juga menghargai mereka yang dengan pilihan bebasnya melenas atau membuka kembali jilbabnya. Termasuk mengapresiasi mereka yang sama sekali tidak tertarik memakai jilbab.
Inilah kampanye kemungkaran yang didengungkan “Ratu Sepilis” Musdah Mulia (Sang Pembela hak-hak asasi kaum homo dan lesbian) di kampus-kampus yang harus dilawan. Dalam Islam, jilbab apapun yang menutup aurat perempuan, sesuai yang ditentukan syariat adalah kewajiban yang harus dipatuhi. Soal perempuan yang belum berjilbab, umat Islam tidak pernah mencela, apalagi menuduh sebagai wanita yang tidak baik.
Bagi Muslimah yang melepas jilbabnya, hendaknya didiagnosa problema psikologi perempuan yang bersangkutan, bukan mengambinghitamkan jilbab. Mereka yang melepas jilbabnya, bisa saja akibat frustasi dengan persoalan hidup yang dihadapi, atau takut sulit mendapat pekerjaan. Sebaiknya, Ratu Sepilis itu tidak bersu’udzan soal perempuan berjilbab, juga tak perlu menilai moralitas mereka.
Plintir Ayat
Menurut Ratu Sepilis (sekularisme, pluralisme dan libealisme) Musdah Mulia, ada banyak alasan mengapa perempuan berjilbab.
Sebagian beralasan memakai jilbab karena dipaksakan oleh aturan Perda tentang keharusan berjilbab. Sebagian lagi karena alasan psikologis, tidak merasa nyaman karena semua orang di lingkungannya memakai jilbab. Ada lagi karena alasan modis, agar tampak lebih cantik dan trendi, sebagai respon terhadap tantangan dunia model. “Ada juga berjilbab karena alasan politis, yaitu memenuhi tuntutan kelompok Islam tertentu yang cenderung mengedepankan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik,” ungkap Musdah, yang anti syariat Islam ini enteng.
Jelas, Musdah berhasrat untuk membuat keraguan perempuan yang telah berjilbab dengan mengatakan, pandangan para ulama tidak tunggal tentang busana perempuan dalam Islam, tetapi sangat beragam. Ijtihad para ulama, katanya, bisa salah, bisa juga benar. “Perempuan boleh memilih pakaian yang disukainya, sesuai adab kesopanan yang umum berlaku dalam masyarakat. Rambut kepala bukanlah aurat, sehingga tidak perlu ditutupi,” ujarnya.
Musdah dengan lugas menentang ayat-ayat Al Qur’an soal jilbab, terutama surah Al-Ahzab (32,33, 55) dan an-Nur (30,31,60). Hadits riwayat Aisyah dan Abu Daud yang banyak dijadikan rujukan, dikatakan sebagai hadits ahad, bukan hadits mutawatir. Intinya, hadits ahad dianggap tidak kuat menjadi landasan hukum.
“Jika teks-teks tentang jilbab tersebut dibaca dalam konteks sekarang, terlihat bahwa perempuan tidak perlu lagi memakai jilbab hanya sekadar agar mereka dikenali, atau mereka dibedakan dari perempuan yang berstatus budak, atau agar mereka tidak diganggu laki-laki jahat. Di masa sekarang, tidak ada lagi perbudakan, dan busana bukan ukuran untuk menetapkan identitas seseorang,” tandasnya nyeleneh.
Lebih lanjut, Ratu Sepilis itu mengatakan, dewasa ini banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat perempuan terhormat dan disegani, misalnya dengan meningkatkan kualitas pendidikan, memberdayakan mereka dengan skill dan ketrampilan, memenuhi hak-hak asasi mereka, khususnya hak-hak reproduksi perempuan. Ajaran Islam menghendaki para perempuan tetap terjaga moralitasnya, meskipun tidak menggunakan simbol-simbol seperti jilbab dan lainnya,” ungkap Musdah ngawur.
Mengaku demokratis, tapi dengan sewotnya Musdah menuduh perempuan berjilbab sebagai pamer. “Perempuan beriman tentu secara sadar akan memilih busana sederhana dan tidak berlebih-lebihan sehingga menimbulkan perhatian publik, dan yang pasti juga tidak untuk pamer (riya).”
Asbab nuzul ayat-ayat tentang perintah jilbab disimpulkan Musdah, bahwa jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya ketimbang ajaran agama. Sebab, jika jilbab memang diterapkan untuk perlindungan atau meningkatkan prestige kaum perempuan beriman, maka dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi.
“Memakai jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan Islam. Itu hanyalah ketentuan Al Qur’an bagi para istri dan anak-anak perempuan Nabi. Jika perlindungan itu tidak dibutuhkan lagi karena sistem keamanan yang sudah sedemikian maju dan terjamin, tentu perempuan dapat memilih secara cerdas dan bebas apakah ia masih mau mengenakan jilbab atau tidak.”
Saatnya menolak proyek kaum sepilis di kampus-kampus untuk mengagendakan mahasiswi menanggalkan jilbabnya. Berkampanye melepas jilbab di kampus-kampus adalah proyek baru pengusung sekularisme. Meningkatnya perempuan Muslimah berjilbab, tak membuat “Ratu Sepilis” Siti Musdah Mulia berbangga hati. Menurutnya, jilbab bukanlah kewajiban, melainkan pilihan. Jilbab pun dikambinghitamkan. [Desastian]/voa-islam